JAKARTA, KOMPAS.com –- Masih ingat dengan Bondan Winarno? Mantan jurnalis yang lebih dikenal sebagai presenter acara kuliner itu meninggal di penghujung tahun 2017.
Pria yang populer dengan slogan “maknyus” ini mendapati kelainan irama denyut jantung yang dalam dunia medis, disebut aritmia.
Tanpa Anda perintah, jantung bekerja memompa darah karena memiliki sistem otomatisisasi listrik. Hal ini dimungkinkan berkat alat pacu jatung alami yang disebut dengan nodus sinoatrial.
Dari segi kecepatannya, aritmia terbagi menjadi dua garis besar. Bradiaritmia, detak jantung terlalu lambat dengan perhitungan 60 kali per menit (kpm); dan takiaritmia, detak jantung terlalu cepat lebih dari 100 kpm.
Aritmia yang paling sering terjadi adalah fibrilasi atrial (AF). Prevalensi AF di Indonesia sebesar 2,2 juta orang, dan 40 persen di antaranya mengalami stroke.
Gejala yang paling umum adanya jantung yang berdebar dengan rasa tak nyaman, serta gerakan di sekitar dada. Selain itu, gejala lainnya adalah merasa lelah hingga tak bertenaga, nafas pendek, rasa sesak di dada, pingsan, sering buang air kecil, dan sulit melakukan aktivitas sehari-hari.
“Kalau orang sakit jantung terus mati mendadak, itu cara matinya kena aritmia. 91 persen mati mendadak itu karena artimia. Penyebab dasarnya penyakit jantung koroner, tetapi cara matinya aritmia,” kata dokter spesialis aritmia Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K) dalam konferensi pers di Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita, Jakarta, Rabu (24/1/2018).
Namun, banyaknya pengidap aritmia ternyata tak berbanding lurus dengan dokter spesialis yang memahami bidang tersebut. Fakta ini menjadi ironi bidang kesehatan di negara berkembang, ditambah minimnya infrastruktur untuk mengobati pasien.
Hingga tahun 1999, Indonesia hanya memilik satu orang spesialis aritmia, DR.dr. M. Munawar, Sp JP (K). Lalu, pada sekitar tahun 2000, Yoga menjadi dokter aritmia kedua. Sejak saat itu tak ada penambahan personel baru hingga tahun 2006. Beberapa tahun kemudian Dr. Dicky Armein Hanafy, SpJP (K), FIHA menjadi ahli aritmia berikutnya.
“Hingga saat ini hanya ada 26 dokter ahli aritmia. Kenapa begitu? Ada istilah tak kenal maka tak sayang yang membuat aritmia kurang diminati,” kata Yoga.
Jika dibandingkan, rasio dokter ahli aritmia sebesar 1:10.000.000, meskipun rasio idealnya 1:1.000.000.
Setiap tahunnya, pusat Pendidikan di RSAB Harapan Kita menghasilkan dua orang ahli aritmia. Pendidikan dokter juga ditempuh dengan mengirim dokter belajar ke luar negeri.
“Tapi satu pusat pendidikan untuk mendidik begitu banyak memang tidak cukup. Kita harus bentuk yang lain,” ucap Yoga.
Minimnya jumlah dokter diperparah dengan minimnya pelayanan aritmia. Mereka hanya ada di Padang, Makasar, Palembang dan Yogyakarta yang disusul Samarinda, Medan, Manado, Surabaya, dan Semarang.
Terbatasnya spesialis aritmia diakui Dicky akibat minimnya dokter yang mau terjun mendeteksi irama jantung. Untuk mengambil subspesialis aritmia, waktu pendidikan menjadi lebih lama setelah melakukan pendidikan dokter umum dan dokter jantung.
“Peminatnya kurang karena ilmu ini sangat spesifik ya. Jadi pendidikannya cukup lama. Kendalanya juga karena itu bidang yang relatif sulit,” kata Dicky.
Dibandingkan dengan jantung koroner, aritmia masih kalah pamor. Selain itu, dalam pengerjaannya artimia perlu waktu lebih lama. Jika pemasangan ring jantung koroner menghabiskan waktu sekitar satu jam, ablasi 3D bisa mencapai enam jam.
“Bayaran dokter yang masang ring sama dengan bayaran ahli aritmia. Tapi ya kita tidak lihat finansial. Yang kita lihat adalah bagaimana kita menolong pasien tersebut. Untuk itu, tidak cukup hanya ahlinya saja tapi juga infrastruktur. Dukungan dari pemerintah, rumah sakit, dan peralatan yang disediakan juga mesti memadai,” ungkap Dicky.
https://sains.kompas.com/read/2018/01/25/080500223/aritmia-penyakit-serius-yang-dokter-spesialisnya-hanya-26-orang