JAKARTA, KOMPAS.com –- Perhatian masyarakat Indonesia tengah tertuju pada Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua. Hingga saat ini, 69 anak telah meninggal dunia sejak September 2017.
Namun bila ditilik lebih jauh, kekurangan gizi tersebut juga terjadi di sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain gizi buruk, kelebihan gizi yang berujung pada obesitas menjadikan pekerjaan rumah menjadi berlipat.
Peneliti Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi Pangan dan Pertanian Asian Tenggara Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN, mengatakan, pola konsumsi anak Indonesia tidak seimbang. Makanan yang dikonsumi tak mencukupi dari total angka kecukupan energi
Studi Diet Total Kementerian Kesehatan pada tahun 2014 menyebutkan, rata-rata Angka Kecukupan Energi (AKE) anak usia 5-12 tahun sebesar 1.636 Kkal dari kebutuhan 1.913 Kkal.
Rinciannya, 30 persen anak Indonesia mendapatkan asupan gizi kurang dari 70 persen AKE. Hal ini membuat anak stunting.
Kemudian, asupan 70-100 persen AKE hanya dirasakan 40,1 persen anak Indonesia. Selebihnya, 19,9 persen anak mendapatkan AKE 100-130 persen dan 10,2 persen di atas 130 persen AKE yang membuat anak menjadi obesitas.
“Masalah gizi ganda ini, kurang gizi, dan gizi berlebih perlu penanganan kita bersama supaya gizinya seimbang. Filosofi gizi adalah harmoni, yakni sesuai dengan kebutuhannya,” kata Dodik dalam diskusi peringatan Hari Gizi Nasional 2018 di kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Selain itu, pola konsumsi sayur dan buah anak Indonesia masih memprihatinkan. Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) Kemenkes 2014, menemukan bahwa rata-rata konsumsi sayur dan buah pada anak usia hingga 59 bulan hanya 65,8 gram per hari, sedangkan usia 5-12 tahun tak jauh berbeda dengan 81,9 gram per hari.
“Dalam persentase, kecukupan konsumsi buah dan sayur usia sampai 59 bulan hanya 2,3 persen. Lalu usia 5-12 tahun 3,5 persen,” ujar Dodik.
Kekurangan gizi ini memberikan dampak signifikan pada anak. Kekurangan gizi makro membuat anak stunting, kekurangan gizi kronis (KEK), dan menganggu masa belajar di sekolah. Sementara itu, anemia dan defisiensi vitamin merupakan hasil kekurangan gizi mikro.
Tak cukup sampai di situ, kekurangan makanan fungsional seperti serat dan antioksidan dapat memicu penyakit degeneratif.
Kemudian, kelebihan gizi pada anak dapat membuat obesitas yang berujung pada kenaikan risiko penyakit tidak menular.
“Ini tantangan bagi orang tua. Memang sebagian besar anak-anak tidak suka sayur dan buah tapi bagaimana bisa menyuapi anaknya dengan sayur dan buah yang mereka sukai,” ucap Dodik.
https://sains.kompas.com/read/2018/01/24/080700323/peneliti-ipb--anak-indonesia-alami-masalah-gizi-ganda