KOMPAS.com - Bagaimana Anda menggambarkan bau makanan di meja makan Anda saat ini? Mungkin Anda harus berpikir keras untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk bau tersebut.
Manusia memang sejak lama dianggap buruk dalam menggambarkan bau. Tapi sebuah penelitian menunjukkan hal itu tak berlaku untuk semua orang.
"Pernah ada konsensus lama yang menyebut bahwa 'bau adalah perasaan bisu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata', dan selama beberapa dekade penelitian dengan relawan berbahasa Inggris tampaknya mengkonfirmasi hal ini," ungkap Asifa Majid dari Radboud University, Belanda dikutip dari Eurekalert, Kamis (18/01/2018).
Para peneliti menemukan bahwa suku pemburu-peramu yang tinggal di hutan hujan tropis dapat dengan mudah menggambarkan bau yang berbeda. Mereka menemukan bahwa orang-orang Jahai, kelompok pemburu-peramu tersebut, dapat menggambarkan bau dengan baik selaras dengan gaya hidup mereka yang masih berburu dan meramu.
"Namun, suku Jahai di Semenanjung Malaya jauh lebih baik dalam menamai bau daripada kita. Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan tentang dari mana perbedaan ini berasal," sambung Majid.
Untuk mendapat temuan tersebut, Majid dan koleganya mempelajari dua kelompok suku terkait yang belum pernah dipelajari. Kedua kelompok tersebut adalah pemburu-peramu Semaq Beri dan suku yang tak berburu dan meramu, yaitu Semelai.
Suku Semelai secara tradisional hidup dengan bercocok tanam. Mereka juga menggabungkan budidaya berpindah lahan dengan mengumpulkan hasil hutan untuk dijual.
Kedua suku ini tak hanya tinggal di lingkungan yang sama, tapi mereka juga menggunakan bahasa yang terkait erat.
"Jika kemudahan memberi nama bau berkaitan dengan praktek budaya, maka kita mengharapkan Semaq Beri untuk berperilaku seperti Jahai, sedangkan Semelai harus berbeda," tulis peneliti.
Seperti hipotesis para peneliti, itu pulalah yang mereka temukan.
Majid dan koleganya menguji kemampuan penamaan warna dan bau dari 10 orang Semaq Beri dan 21 orang Semelai. Hasilnya, suku Semaq Beri menunjukkan hal yang sama dengan suku Jahai, menamai bau dengan mudah.
Di sisi lain, suku Semelai mengalami kesulitan seperti relawan berbahasa Inggris.
"Bagi pemburu-peramu Semaq Beri, penamaan bau semudah penamaan warna, menunjukkan bahwa kognisi penciuman suku ini sangat spesial," tulis para peneliti dilansir dari The Independent, Kamis (18/01/2018).
Temuan ini didukung oleh pengamatan budaya Semaq Beri yang menganggap bau sangat penting. Dengan begitu, dalam ruang sosial, bau dikelola dengan hati-hati untuk menghindari percampuran penamaan bau secara individual.
Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Current Biology ini menunjukkan bahwa kemunduran dalam menggambarkan bau ini adalah konsekuensi dari adaptasi budaya.
"Mungkin karena orang-orang beralih dari gaya hidup berburu-meramu ke mode subsisten lain yang lebih menetap, mereka berhenti menggunakan kosa kata yang berhubungan dengan bau ini. Jadi, ada sesuatu tentang gaya hidup berburu yang tampaknya secara khusus memudahkan penamaan bau," kata Majid dikutip dari The Guardian, Kamis (18/01/2018).
Temuan Majid ini menantang anggapan bahwa perbedaan bangunan saraf saja yang mendasaru perbedaan penciuman. Temuan ini justru menunjukkan bahwa variasi budaya dapat memainkan peran yang lebih menonjol.
https://sains.kompas.com/read/2018/01/19/180900723/ini-alasan-kenapa-suku-berburu-meramu-punya-penciuman-lebih-baik