KOMPAS.com - Kanker adalah penyakit yang ditakuti oleh banyak orang. Untuk memastikan seseorang mengidap kanker, biasanya dilakukan biopsi.
Biopsi adalah pengambilan jaringan tubuh untuk pemeriksaan laboratorium lebih lanjut. Namanya saja mengambil jaringan tubuh, tentunya prosedur ini cukup menyakitkan.
Namun, baru-baru ini, para peneliti membuat tes untuk mendeteksi kanker prostat tanpa melewati prosedur menyakitkan tersebut.
Menggunakan tes darah
Para peneliti dari Nottingham Trent dan University Hospitals Leicester NHS Trust menemukan bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang berubah saat kanker hadir. Perbedaan ini bisa dilihat dalam darah penderita.
Hal inilah menjadi dasar mereka mengembangkan tes darah untuk mendeteksi kanker prostat. Tes darah yang digunakan untuk deteksi kanker prostat sebelumnya dinamakan PSA.
Tes darah PSA ini mencari antigen spesifik prostat, sebuah tanda biologi yang menjadi lebih tinggi saat penyakit tersebut ada di dalam prostat seseorang.
Sayangnya, pembacaan tes ini bervariasi untuk masing-masing individu. Selain itu, antigen tersebut meningkat secara alami seiring bertambahnya usia seseorang.
"Meskipun tes darah PSA biasanya digunakan untuk menguji keberadaan kanker prostat, hal itu bisa relatif tidak spesifik," kata Profesor Graham Pockley, Direktur Pusat Penelitian Kanker John van Geest dari Nottingham Trent University dikutip dari The Telegraph, Rabu (17/01/2018).
"Tantangan khusus bagi petugas klinis adalah mendiagnosis adanya kanker prostat pada individu yang tidak memiliki gejala penyakit, namun memiliki tingkat PSA yang sedikit meningkat dalam darah. Studi ini menyoroti nilai kolaborasi seperti ini," sambungnya.
Dari kekurangan tes darah PSA inilah, para peneliti dari kedua universitas itu mengembangkan tes darah baru untuk melengkapi kekurangannya.
Tes baru memonitor sel darah putih dalam darah, yang bertanggung jawab untuk melindungi tubuh dari infeksi dan kanker. Para ilmuwan telah mengembangkan sebuah algoritma yang menentukan apakah kanker hadir berdasarkan bagaimana reaksi sel.
"Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kehadiran kanker prostat pada pria tanpa gejala dengan tingkat PSA <20 ng ml-1 dapat diidentifikasi dengan lebih baik menggunakan profil sel kekebalan yang dihasilkan tubuh," tulis temuan tersebut dalam jurnal Frontiers in Immunology.
"Karena praktik klinis saat ini lebih menyukai penggunaan tes PSA sebagai indikator awal kanker prostat, melengkapi model prediksi PSA dengan subset prediksi cytometry aliran dapat meningkatkan keakuratan uji awal kanker prostat dan mengurangi kasus pasien yang salah klasifikasi," sambung laporan tersebut.
Tes Genetik
Selain menyempurnakan tes darah yang saat ini digunakan, para peneliti juga membuat tes prediksi dengan cara yang lain yaitu tes genetik. Hal ini dikembangkan oleh para peneliti di University of California San Diego School of Medicine.
Mereka mengembangkan sebuah alat genetik untuk memprediksi kanker prostat.
Temuan yang dipublikasikan dalam British Medical Journal (BMJ) ini bermula dari ketidakpuasan peneliti terhadap pengujian PSA. Salah satunya dikarenakan tes PSA sering memberikan hasil positif palsu.
"Tes PSA yang ada berguna, tapi tidak cukup tepat untuk digunakan pada semua pria," kata Tyler M. Seibert, MD, PhD, penulis utama penelitian tersebut dikutip dari Science Daily, Jumat (11/01/2018).
Seibert dan timnya kemudian menggunakan studi asosiasi genom (GWAS ) untuk menentukan apakah gen pria cenderung mengembangkan kanker prostat. GWAS ini kemudian dapat digunakan untuk memprediksi risikonya mengembangkan bentuk penyakit yang agresif dan mematikan.
GWAS mencari genom individu dalam variasi kecil, yang disebut single-nucleotide polymorphisms (SNPs), yang lebih sering terjadi pada orang dengan penyakit tertentu daripada pada orang tanpa penyakit ini. Ratusan atau ribuan SNP dapat dievaluasi bersamaan pada kelompok besar orang.
Untuk mendapat temuan ini, para peneliti mengguanakan data lebih dari 200.000 SNP dari 31.747 orang keturunan Eropa yang berpartisipasi.
Genotip (kode genetik), status kanker prostat, dan usia dianalisis untuk memilih SNP yang terkait dengan diagnosis kanker prostat. Kemudian data dimasukkan ke dalam alat prediksi baru, yaitu Skor Risiko Poligenik, yang melibatkan analisis kelangsungan hidup untuk memperkirakan efek SNP pada usia saat diagnosis kanker prostat agresif.
Hasilnya, angka dari skor risiko tersebut dapat memperkirakan risiko genetik individu.
"Kekuatan tes ini adalah genotip individu tidak berubah seiring bertambahnya usia, sehingga skor ini dapat dihitung dan digunakan kapan saja," kata Ian Mills, profesor kanker prostat di Nuffield Departement of Surgical Sciences yang terlibat dalam penelitian ini dikutip dari laman resmi Oxford University, Jumat (11/01/2018).
"Namun, kita masih perlu mempelajari manfaat klinis sebelum menggunakan tes skor risiko poligenik ini digunakan secara terus menerus," sambungnya.
"Skor risiko poligenik dihitung dari 54 SNP dan terbukti merupakan prediktor yang signifikan untuk diagnosis kanker prostat yang agresif," kata Seibert.
https://sains.kompas.com/read/2018/01/17/180900623/peneliti-kembangkan-tes-deteksi-kanker-prostat-terbaru