Beberapa alasan terkait penolakan vaksin muncul. Mulai dari efek samping vaksin yang membuat suhu badan naik, isu autisme, sampai kandungannya yang diduga berasal dari bahan haram.
Vaksin difteri yang ada di Indonesia diproduksi oleh PT Bio Farma (Persero). Distribusi vaksin perusahaan plat merah ini telah tersebar di berbagai belahan dunia.
Direktur Utama PT Bio Farma (Pesero), Juliman, berkata bahwa Bio Farma telah mengekspor vaksin difteri ke 136 negara. Dari jumlah itu, 50 di antaranya merupakan negara berpenduduk mayoritas Islam.
"Jadi, di luar negeri tidak bermasalah dengan vaksin kita. Tetangga kita juga belinya (vaksin difteri) dari Bio Farma," kata Juliman dalam diskusi di Gedung Serbaguna Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Jumat (12/1/2018).
Kualitas Bio Farma sebagai produsen vaksin telah mendapatkan pengakuan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pencapaian ini tidaklah mudah. Sebab dari 200 perusahan vaksin di dunia, hanya 30 perusahaan vaksin yang diakui WHO.
Juliman berkata sebelumnya Bio Farma dapat memproduksi 15 juta vial vaksin dalam lima hari kerja.
Setelah pemerintah mengumumkan untuk memberikan imunisasi ulang atau ORI (Outbreak Response Imunization), jam kerja ditambah menjadi tujuh hari dengan total produksi hingga 20 juta vial.
Dengan adanya KLB, Bio Farma menunda sementara ekspor vaksin difteri, baik kepada UNICEF dan beberapa negara lain. Prioritas utama untuk di dalam negeri terlebih dahulu.
UNICEF membeli vaksin untuk diberikan lagi kepada negara yang membutuhkan. Selain itu, lewat perdagangan bilateral, Bio Farma menjual langsung vaksin ke kementerian kesehatan negara lain dan sektor swasta.
"Kami harus minta maaf kepada UNICEF dan mitra di luar negeri untuk sementara menunda dulu suplai kepada mereka. Mereka bisa memahami," tutur Juliman.
https://sains.kompas.com/read/2018/01/14/120500223/fokus-tangani-klb-bio-farma-tunda-ekspor-vaksin-difteri