KOMPAS.com - Polusi suara diketahui bisa menyebabkan stres pada manusia. Tapi ternyata hal ini dialami oleh para burung.
Sebuah penelitian terbaru menyebut bahwa burung yang terpapar kebisingan dari kompresor gas alami menunjukkan gejala yang mirip dengan manusia yang menderita gangguan stres pasca-trauma.
Pada penelitian yang dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, para peneliti menemukan bahwa tiga spesies burung, baik yang dewasa maupun anak burung, menunjukkan banyak tanda stres kronis yang disebabkan oleh polusi suara.
Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya hormon stres, yang dikarenakan peningkatan kecemasan, gangguan, dan kewaspadaan yang berlebih.
Rob Guralnick, co-author penelitian ini menyebut bahwa ini merupakan penelitian pertama yang menguji hubungan kebisingan, hormon stres, dan kebugaran pada burung untuk mendeteksi predator, pesaing, dan spesies mereka sendiri.
Dalam penelitian itu, ditemukan bahwa induk burung harus memilih antara mencari makan atau menjaga anak-anaknya di sarang tidak bisa melihat apakah lingkungan mereka aman akibat polusi suara.
Selain itu, anak burung yang tinggal di lingkungan yang berisik memiliki ukuran tubuh lebih kecil serta bulu yang kurang berkembang. Ini tentu berpotensi untuk mengurangi peluang mereka bertahan hidup.
"Burung-burung ini tidak bisa lepas dari kebisingan. Ini terjadi terus menerus, dan benar-benar mengganggu kemampuan mereka untuk mendapat tanda dari lingkungan," ungkap Guralnick yang juga bekerja sebagai kurator asosiasi informatika keanekaragaman hayati di Florida Museum of Natural History dikutip dari Phys.org, Senin (08/01/2018).
"Mereka terus menerus stres karena mereka tidak tahu apa yang terjadi. Sama seperti stres yang konstan yang cenderung menurunkkan berbagai aspek dari kesehatan seseotang, ini secara keseluruhan memiliki efek pada kesehatan tubuh dan pikiran mereka," sambung Guralnick.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Nathan Kleist, mahasiswa doktoral di Colorado University (CU) Boulder, Amerika Serikat, mendirikan 240 kotak sarang di dekat kompresor gas. Guralnick menyebut hal tersebut memungkinakan para peneliti untuk memeriksa respon stres burung yang bersarang dalam suatu gardien terukur.
Selanjutnya, tim tersebut menguji kadar hormon stres kortikosteron dalam tiga spesies burung yang bersarang di sana. Tiga spesies tersebut adalah burung biru barat, burung biru pegunungan, dan burung tenggorokan abu-abu.
Awalnya, para peneliti menyangka bahwa tingkat kortikosteron ketiga spesies burung tersebut akan tinggi. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Semakin keras suara dari kompresor gas, semakin rendah tingkat kortikosteron burung-burung tersebut. Hasil ini konsisten pada burung dewasa maupun anak-anak dari ketiga spesies tersebut.
Temuan tersebut kemudian menjadi fokus bila dibandingkan dengan penelitian laboratorium tentang stres kronis. Tingkat kortikosteron yang rendah bisa jadi adalah pertanda bahwa stres begitu kuat, sehingga tubuh telah mematikan tingkat dasar hormon sebagai perlindungan diri.
"Mulanya, Anda mungkin melihat hasil ini dan menganggap berarti mereka (burung tersebut) tidak stres," ungkap Christopher Lowry, co-author penelitian ini.
"Tapi apa yang kita pelajari dari penelitian manusia dan hewan pengerat adalah dengan pemicu stres yang tak terhindarkan, termasuk gangguan stres pasca-trauma pada manusia, hormon stres sering kali rendah secara kronis," sambung ahli fisiologi stres dari CU Boulder tersebut.
Sedangkan, saat menguji respon anak burung terhadap ancaman yang tiba-tiba, para peneliti menemukan bahwa tingkat hormon stres mereka meroket dan lambat untuk kembali ke awal. Hubungan antara tingkat kortikosteron yang rendah kemudian mengalami lonjakan abnormal pada pemicu stres akut juga paralel dengan penelitian stres kronis pada manusia dan hewan pengerat, ungkap Guralnick.
"Ini adalah keselarasan rapi antara dua jenis literatur yang sama sekali berbeda, studi tentang stres serta tentang konservasi dan fisiologi," ungkap Guralnick.
"Hubungan antara kadar hormon rendah dan tinggi ini membantu menjelaskan mengapa data tentang kortikosteron dari studi fisiologi konservasi sbeelumnya tampak ada di mana-mana. Ini membantu menerangkan pola dasar dan menyarankan paradigma baru bagaimana kebisingan memengaruhi satwa liar,' imbuhnya.
Tingkat kebisingan di ladang gas alam mungkin tidak lebih keras dibandingkan dengan polusi suara yang diciptakan manusia. Tapi tetap saja, hal ini memiliki implikasi penting untuk melindungi satwa liar dan mungkin kesehatan manusia, ungkpa peneliti.
"Penelitian ini menunjukkan bahwa polusi suara mengurangi habitat hewan dan secara langsung memengaruhi kebugaran mereka dan pada akhirnya jumlahnya," ujar Guralnick.
Para peneliti menyebut peningkatan 10 desibel pada kebisingan di atas tingkat alami bisa menecilkan area pendengaran hewan hingga 90 persen.
"Mendengar adalah sistem pengawasan universal di antara hewan bertulang belakang, termasuk manusia," ungkap Clinton Francis, co-author penelitian ini.
"Mendengar merupakan indera yang tetap aktif bahkan saat tidur dan peristiwa ketidaksadaran lainnya. Karena kita (manusia) dan hewan lain bergantung pada indera ini, mungkin tidak terlalu berlebihan jika mungkin ada dampak fisiologis yang mirip terhadap manusia," sambung profesor biologi di California Polytechnic State University tersebut.
https://sains.kompas.com/read/2018/01/10/173500123/peneliti-ungkap-polusi-suara-bikin-burung-alami-stres-kronis