JAKARTA, KOMPAS.com –- Bagi masyarakat Indonesia, sakit kepala sebelah adalah migrain. Nyatanya, migrain tak melulu berupa sakit kepala sebelah. Migrain juga bisa terjadi pada seluruh bagian kepala atau di bagian belakang kepala.
Migrain merupakan penyakit yang diturunkan melalui kromosom X. Bila seorang bapak mengidap migrain, anak laki-lakinya tak akan mendapatkan migrain, tetapi anak perempuannya akan.
Sementara itu, bila ibu mengidap migrain, semua keturunannya akan mendapatkan migrain.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan mencatat, pada tahun 2014, prevalensi migrain di Indonesia 22,4 persen dari studi populasi.
“Masalahnya di Indonesia, sebagian besar orang mengatakan dirinya migrain karena terpicu oleh iklan, seolah migrain begitu tinggi," kata Pakar Neurologi Dr. Salim Haris, Sp.S(K), FICA usai sidang promosi doktor di Faktultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Jumat (5/1/2018).
Dia melanjutkan, padahal belum tentu migrain. Banyak sekali (penyebabnya), ada sinusitis, sakit kepala servikogenik, sakit kepala tegang, sakit kepala cluster dan banyak lagi.
Migrain tak bisa diremehkan. Sakitnya bisa bertahan lebih dari empat jam, bahkan hingga 2-4 hari. Namun, untungnya migrain masih dapat dikendalikan.
Melalui disertasinya, Salim membuat rumus untuk mendeteksi ada atau tidaknya migrain pada pasien yang mengeluhkan sakit kepala. Rumusan diagnostiknya disebut dengan Indeks Vaskular Migrain (IVM).
Saat pasien mengeluhkan sakit kepala, dokter akan melakukan anamnesa dengan mengajukan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan itu sesuai dengan International Headache Society (IHS), seperti bagian sakit kepala, durasi waktu, ada tidaknya mual, silau mata, atau suara yang terdengar di kuping.
Dalam penelitiannya, kemampuan diagnosis dengan anamnesa menggunakan IHS sebesar 60 persen. Salim menyebutkan, perbedaan persepsi dokter saat menggunakan IHS dapat menimbulkan kesalahan diagnosis paling sedikit 50 persen.
“Bukan IHS-nya yang jelek, karena punya spesifisitas 95 persen, tapi karena kemampuan orang itu berbeda-beda dalam bertanya,” ucap Salim.
Dengan menggunakan IVM, hasil diagnosis bisa mencapai 95 persen, sedangkan jika digabung dengan IHS dan IVM, hasil diagnosis menjadi 98 persen dari 100 orang.
IVM diketahui dengan mengukur nilai rata-rata kecepatan aliran sel darah merah ke otak. Pengukurannya menggunakan ultrasonografi doppler yang ditempelkan di pelipis.
Saat tengah beristirahat, orang tanpa migrain memiliki kecapatan aliran darah 50 centimeter per detik. Kemudian, saat menahan nafas selama 30 detik, kecepatannya menjadi 120 centimeter per detik.
Sementara itu, pada penderita migrain, kenaikan kecepatan hanya naik 20 centimeter, menjadi 70 centimeter per detik.
Selain itu, pada saat hiperventilasi atau menghirup dan menghembuskan nafas dengan cepat, kecepatan aliran darah pada orang normal turun menjadi 20-30 centimeter per detik, sedangkan pada penderita migrain menjadi 5 centimeter per detik.
“Jadi penurunannya luar biasa tapi pelebaranya kurang. Saya masukkan perhitungan rata-ratanya. Kalau kurang dari 1,035 itu migrain, lebih dari itu tidak migrain,” ujar Salim.
Salim berharap, IVM dapat meningkatkan hasil diagnosis pasien. Sebab, tanpa itu potensi efektivitas pengobatan pun menurun.
“Rugi kan. Buang-buang uang sedangkan nilai efektivitasnya tidak berjalan,” ucap Salim.
Rumusan IVM telah didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM pada 10 April 2017 dan diterima pada 1 Januari 2017. Hak cipta IVM dipegang oleh Universitas Indonesia selama 50 tahun.
https://sains.kompas.com/read/2018/01/06/180500323/dokter-ui-patenkan-rumus-pendeteksi-migrain