Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bau Mulut? Bisa Jadi Bukan karena Makanan, tetapi Mutasi Genetik

Namun, menurut penelitian terbaru yang sudah diterbitkan di jurnal Nature Genetics, masalah bau mulut (halitosis) tidak selalu karena makanan.

Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa ada orang yang mewarisi mutasi genetik sehingga muncul bau mulut terus menerus. Ini adalah penelitian pertama yang menghubungkan masalah genetik dan halitosis.

90 persen manusia memiliki bau mulut karena makanan, dan 10 persen halitosis dianggap ekstra-oral atau timbul secara internal akibat masalah yang mempengaruhi kondisi hidung, sinus, amandel, esofagus, dan darah. Masalah ini termasuk infeksi, diabetes, gangguan perut, atau pengobatan tertentu.

Untuk bau mulut karena makanan, hal itu disebabkan oleh senyawa yang ada dalam makanan, seperti senyawa sulfat alil metil sulfida yang ada di bawang putih dan metil propil sulfida pada bawang merah.

"Sementara halitosis ekstra-oral selalu muncul karena bau itu berasal dari darah, melalui paru-paru ke napas. Sedangkan bentuk oral disebabkan oleh bakteri di rongga mulut," kata co-author Edwin Winkel dari University of Gronginen dan Clinic for Periodontology, Amsterdam, kepada Seeker, Kamis (21/12/2017).

Ide penelitian ini datang dari sebuah kasus yang terjadi 25 tahun lalu. Pada saat itu, ada perempuan Belanda datang ke kliniknya karena terus-terusan memiliki bau mulut. Wanita ini juga menceritakan bahwa saudaranya memiliki masalah bau mulut yang sama.

Winkel kemudian mengambil sampel cairan tubuh dari wanita ini dan mengirimnya ke Radbound Universitu Nijmegen Medical Center untuk dianalisis.

Sampel yang diteliti oleh Albert Tangerman dan Ron Wevers itu terbukti memiliki konsentrasi tinggi yang tidak normal pada 4 metabolit mengandung sulfur.

Dua dari empat metabolit itu merupakan senyawa volatil dimetilsulfida dan methanethiol, yang bisa jadi berasal dari makanan dan diproduksi dalam jumlah besar di usus. Tidak mengherankan, saat wanita itu melepaskan metabolit, akan timbul bau mulut.

"Bau methanethiol memiliki bau busuk yang khas dan merupakan bagian dari bau kentut manusia yang mirip keju Perancis. Sementara itu, aroma dimetilsulfida mirip seperti bau saat memasak kembang kol," kata rekan penulis Winkel, Huub Op den Camp dari Radboud yang membidangi masalah ekologi dan fisiologi mikroorganisme.

Mereka juga menemukan protein dan methanethiol oxidase yang disebabkan bakteri Hyphomicrobium. Bakteri ini memakan kontaminasi di limbah, termasuk sulfur seperti methanethiol.

Op den Camp juga menemukan kasus yang sama pada tiga keluarga yang ada di Jerman, Portugis, dan Belanda, dan untuk menindaklanjuti penelitian ini, para ilmuwan mengambil sampel dari napas, darah, dan urin dari tiga keluarga tersebut.

Semua sampel yang diambil menunjukkan adanya mutasi pada gen SELENBP1 yang mengkodekan protein pengikat selenium 1. Hal ini ditemukan sebagai methanethiol oxidase.

Individu yang menyimpan mutasi gen ini tidak dapat memecah methanethiol dengan benar dan menyebabkan bau mulut sangat busuk.

"Pada semua pasien, mutasi ini diwariskan dari ayah. Pada akhirnya, jumlah anggota (yang memiliki masalah bau mulut) pada laki-laki dan perempuan sama," kata Wevers.

Peneliti memperkirakan bahwa 1 dari 90.000 orang membawa gen mutasi ini.

Sayangnya, belum ada obat yang dapat mengatasi halitosis ini. Peneliti hanya dapat menyarankan untuk menghindari makanan yang mungkin akan memperburuk bau napas.

Meski memiliki bau mulut parah, hal ini tidak mengurangi kemampuan indra pengecap untuk mencicipi makanan. Hanya saja, bau mulut itu akan mengganggu orang lain daripada diri sendiri, karena orang yang memiliki masalah bau mulut sudah terbiasa dengan bau napasnya.

Peneliti juga mengkhawatirkan bila masalah bau mulut kronis yang dialami sebagian orang dapat memicu perkembangan kanker, seperti kanker payudara, ginjal, dan usus besar. Sebab, methanethiol dan dimetilsulfida telah diidentifikasi pada banyak jenis kanker.

Sampai sejauh ini, tidak ada bukti bahwa pasien yang memiliki halitosis kronis dan terlibat dalam penelitiannya berisiko tinggi terkena kanker.

Meski demikian, para peneliti tetap akan menyelidiki lebih lanjut. Selain itu, mereka juga berniat mencari tahu perawatan yang tepat untuk halitosis kronis.

https://sains.kompas.com/read/2017/12/22/190400123/bau-mulut-bisa-jadi-bukan-karena-makanan-tetapi-mutasi-genetik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke