KOMPAS.com -- Hingga kini, badak sumatera menjadi salah satu spesies yang terancam keberadaannya di bumi. Pada tahun 2008, peneliti memperkirakan populasinya hanya tinggal di kisaran angka 220 hingga 275 ekor saja.
Status mereka dalam situs resmi International Union for Conservation of Nature (IUCN) pun belum berubah, masih endangered atau terancam punah, dan tren populasi justru terus menurun.
Ironisnya, nasib badak berbulu ini ternyata tak jauh beda dengan kehidupannya di masa lalu.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Current Biology, Kamis (14/12/2017) memaparkan bahwa badak sudah berhadapan dengan fase kepunahan sejak 10.000 tahun yang lalu.
"Spesies ini sudah berada dalam fase kepunahan untuk waktu yang sangat lama," kata Terri Roth, ahli badak dari Pusat Konservasi dan Penelitian Habitat Spesies Terancam Punah kebun binatang Cincinnati, Amerika Serikat.
Hasil penelitian tersebut berdasarkan dari analisis genetik DNA badak Sumatera bernama Ipuh yang tinggal di Kebun binatang Cincinnati selama 22 tahun.
Tim menggunakan teknik yang disebut pemodelan Pairwise Sequential Markovian Coalescent (PSMC), yang memungkinkan mereka untuk memperkirakan populasi spesies yang mencakup ribuan generasi hanya dengan pengurutan gen dari satu individu saja.
Dengan menggunakan sampel DNA Ipuh, tim membandingkan hasilnya dengan data fosil dan iklim untuk mengumpulkan gambaran bagaimana nasib badak Sumatera selama beberapa juta tahun terakhir.
Menurut data, spesies tersebut mencapai puncak populasi sekitar 950.000 tahun yang lalu, dan jumlahnya mencapai sekitar 57.800 spesies.
Namun, jumlah populasi mengalami naik turun selama Zaman Es, yang berlangsung dari sekitar 2,6 juta tahun lalu hingga sekitar 12.000 tahun yang lalu.
"Data urutan genom kami mengungkapkan jika Zaman Es menjadi era naik turunnya populasi badak sumatera," kata Herman Mays, Jr, peneliti lain dari Marshall University.
Berdasarkan penelitian, penyebab utama penurunan populasi ada kaitannya dengan perubahan iklim di masa lalu.
Peneliti mengungkapkan jika ada kenaikan permukaan air laut yang merendam daratan yang menghubungkan pulau Kalimantan, Jawa dan Sumatera dengan Semenanjung Melayu dan daratan Asia. Hal ini berakibat pada pecahnya habitat badak.
Dampaknya, makin berkurangnya keragaman genetik badak Sumatera akibat isolasi geografis sehingga membuat mereka lebih rentan terhadap ancaman dari aktivitas manusia seperti pembabatan hutan dan perburuan.
Itulah sebabnya, menjelang akhir zaman es sekitar 9000 tahun yang lalu, jumlah badak Sumatera berkurang drastis hingga hanya menyisakan sekitar 700 spesies saja. Kondisi suram ini terus berlangsung hingga sekarang.
"Populasi mereka rendah dan tidak pernah menunjukkan adanya peningkatan," imbuh Mays.
Harapan menambah populasi badak sumatera terus diusahakan dengan melakukan penangkaran. Indonesia sendiri berhasil menangkarkan badak dan melahirkan Andatu yang menjadi badak pertama yang lahir di penangkaran di Indonesia pada 2012 lalu.
Namun itu semua tidaklah cukup. Kita masih terus kejar-kejaran dengan waktu untuk mencari jalan lain menyelamatkan badak.
Salah satu persoalannya adalah soal perkembangbiakannya yang terbilang lambat. Betina tidak mencapai tingkat kematangan seksual hingga umur 6 atau 7 tahun, sementara jantan baru mencapai tingkat kematangan seksualnya pada umur 10 tahun.
Lalu, betina hanya kawin sekali setiap empat atau lima tahun, dan masa kehamilan mereka selama 16 bulan. Setelah itu, anak badak akan tinggal dengan induk mereka selama dua hingga tiga tahun.
Jika sampai badak sumatra punah, artinya seluruh genus ini juga punah.
Pasalnya, badak sumatera merupakan satu-satunya spesies dari genus Dicerorhinus yang bisa bertahan hidup hingga sekarang. Genus ini merupakan grup paling primitif yang berevolusi dari 15 juta tahun hingga 20 juta tahun lalu.
https://sains.kompas.com/read/2017/12/16/200600623/kisah-badak-sumatera-berjuang-dari-kepunahan-selama-10.000-tahun-