JAKARTA, KOMPAS.com –- Membangun keluarga bukan sekadar pintu masuk untuk mendapatkan keturunan. Berbagai persiapan juga harus dipenuhi untuk mendapatkan bayi dan ibu yang sehat selama mengandung dan pasca melahirkan.
Bila tidak dilakukan, risikonya bisa berujung pada kematian ibu dan anak. Kondisi ini layaknya gunung es di tengah lautan: hanya sedikit yang terlihat dan membawa banyak pekerjaan rumah untuk diselesaikan.
Kementerian Kesehatan mencatat, terdapat 5.048 kasus kematian ibu pada tahun 2014 yang menurun menjadi 897 kasus pada tahun 2015. Kemudian, melonjak naik lagi menjadi 4.834 kasus kematian pada tahun 2016.
Jika menggunakan rasio, kematian ibu terjadi sekitar 305 kasus dari 100.000 yang melahirkan. Angka ini tidaklah sedikit dan menjadi cerminan rendahnya tingkat kesehatan Indonesia.
“Kalau bicara kematian ibu itu yang terjadi selama proses kehamilan, persalinan, sampai dengan nifas, penyebab utamanya ada tiga, yakni pendarahan, hipertensi atau kerancunan kehamilan, dan infeksi. 62 persen kematian terjadi setelah melahirkan,” kata Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan, Eni Gustina di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (15/12/2017).
Selain itu, Eni juga melihat bahwa usia kematian ibu mengalami pergeseran.
Dulu, kematian ibu terjadi pada usia lebih dari 35 tahun, usia yang rentan menjalani masa persalinan. Namun kini, kematian di usia muda, tepatnya dibawah usia 20 tahun, menyumbangkan persentase sebesar 40 persen. Hal ini terjadi karena belum matangya rahim untuk membesarkan janin.
Eni bercerita bahwa dia menjumpai banyak kehamilan di usia remaja saat berkunjung ke sebuah rumah sakit di timur Indonesia. Dari 42 anak, 26 anak di antaranya lahir dari remaja.
Melihat kondisi ini, Eni berkata bahwa solusinya adalah mengubah paradigma masyarakat.
“Kita coba ubah paradigma bahwa kalau menikah itu agar cepat punya anak. Seharusnya, disiapkan dulu. Kalau sudah siap fisik, mental, ekonomi, baru punya anak, sehingga kalau dia nangis itu betul-betul membahagiakan semua orang,” kata Eni.
Pekerjaan rumah
Setelah paradigmanya diubah, pekerjaan rumah calon ibu, petugas medis, dan pemerintah masih belum selesai.
Dr dr Ali Sungkar, SpOG-FKM menuturkan, persiapan kehamilan harus dilakukan sebelum kehamilan terjadi. Antara lain pemeriksaan status gizi calon ibu. Jika indeks massa tubuh (BMI) rendah, suplai energi yang dibutuhkan bayi dikahwatirkan tak mencukupi.
“Waktu hamil kita screening, apakah ada diabetes, hepatitis, sipilis, HIV. Lalu dilihat fungsi hati, ginjal, untuk melihat status ibunya apakah terjadi anemia atau tidak,” kata Ali.
Sayangnya, 37,1 persen ibu melahirkan mengalami anemia karena kekurangan zat besi. Padahal, sel-sel darah tersebut bertugas untuk memberi makan bayi di dalam kandungan.
Terjadinya anemia dapat mengakibatkan pendarahan dan kelahiran prematur, di mana organ tubuh bayi belum terbentuk secara sempurna. Menurut Ali, jumlah kelahiran prematur Indonesia sebesar 15,5 persen dan menempati urutan kelima di dunia.
“Otak dan seluruh organnya belum sempurna. Satu bayi prematur kalau masuk PICU (Pediatric Intesive Cara Unit) sehari bisa Rp 10 juta. Sebulan kurang lebih Rp 300 juta. Pasti hidup? Belum tentu,” kata Ali.
Untuk mencegah hal itu, pemerintah memberikan 90 tablet zat besi kepada semua ibu hamil selama tiga bulan. Zat besi juga bisa didapat dari daging merah.
Umumnya, pemeriksaan kehamilan dapat dilakukan dengan 10 T, yakni menimbang berat dan mengukur tinggi badan, mengukur tekanan darah, menilai status gizi, mengukur fundus uteri, presentasi janin dan denyut janin, screening status imunisasi tetanus, pemberian tablet zat besi, tes laboratorium, penanganan khusus, dan konseling.
Pemeriksaan 10 T dapat dilakukan oleh bidan mandiri maupun di puskesmas. Pemeriksaan dilakukan minimal sebanyak tiga kali, yakni satu kali pada trimester I, satu kali pada trimester II, dan dua kali pada trimester III.
“Waktu hamil pertama bisa jadi normal. Tapi saat trimester kedua, kadang tensinya naik. Kalau ada risiko ditemukan, segera dilakukan intervensi untuk mencegah agar jangan sampai komplikasi terjadi,” kata Eni.
Calon orangtua juga diharapkan aktif memantau kandungannya, seperti pergerakan janin selama masa kehamilan. Dalam 10 menit, setidaknya terjadi satu kali gerakan. Ketika gerakannya berkurang, segeralah minta dokter atau bidan memeriksa untuk mengetahui penyebabnya.
Pemerintah juga bekerjasama dengan paraji atau dukun beranak dan membentuk kemitraan antara bidan dan paraji. Bentuknya, paraji wajib melaporkan kepada bidan dalam masa kehamilan. Pemeriksaan pun dilakukan bersama paraji dan bidan.
Menurut Eni, beberapa daerah telah menetapkan denda bila kemitraan ini dilanggar. Paraji akan didenda oleh kepala desa atau camat bila tidak mengikutsertakan bidan. Begitu juga sebaliknya, bidan dapat terkena denda bila tidak mengajak paraji.
“Strategi lainnya, anak dukun bayi disekolahkan menjadi bidan. Begitu telah jadi bidan, paraji bisa pensiun. Di Jawa Barat, (strategi ini) cukup berhasil,” kata Eni.
https://sains.kompas.com/read/2017/12/16/180400323/seperti-gunung-es-kehamilan-diikuti-banyak-pekerjaan-rumah