Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kontroversi Vaksin DBD Dengvaxia, Apa Kata Peneliti Indonesia?

KOMPAS.com – Hasil penelitian Sanofi Pasteur terkait vaksin Dengue buatannya, Dengvaxia, memicu kontroversi. 

Menurut Sanofi Pasteur, vaksin bekerja dengan baik pada orang yang pernah terkena infeksi dengue. Tetapi, vaksin tersebut juga dapat memicu penyakit jika diberikan pada yang belum pernah terinfeksi dengue.

Berdasarkan publikasi tersebut, Ikatan Dokter Anak Indoensia (IDAI) pun meminta kepada para dokter dan masyarakat untuk menangguhkan pemberian vaksin. IDAI kini tengah melakukan kajian untuk menentukan langkah selanjutnya.

Menanggapi polemik tersebut, Guru Besar Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Indonesia, Sri Rezeki S Hadinegoro mengatakan, vaksin baru tidak bisa langsung sempurna dalam sekali pembuatan.

Untuk itu, meski telah melewati proses uji klinis, vaksin yang telah beredar di pasaran tetap dipantau penggunaannya.

“Vaksin yang 100 persen sempurna itu tidak ada. Semua vaksin ada kelemahan. Tapi kalau kita timbang antara manfaat dan mudaratnya tentu pilih vaksin yang bermanfaat. Vaksin yang sudah kita kenal selama ini itu pun juga begitu. 5-10 tahun perlu ada perbaikan,” kata Sri pada Kompas.com, pada hari Sabtu (9/12/2017).

Kasus serupa pernah terjadi pada vaksin Rota Shield. Vaksin untuk mencegah virus Rotavirus yang menyebabkan gastroenteritis atau infeksi usus pada bayi kecil tersebut akhirnya di tarik dari peredaran dua tahun kemudian, pada tahun 1998. 

RotaShield ditarik dari peredaran karena meningkatkan risiko intususepsi, di mana usus terlipat dan menyusup ke dalam bagian usus lain, umumnya terjadi pada bagian yang menghubungkan usus halus dan usus besar. 

Sri mendesak Sanofi Pasteur untuk selalu melakukan penelitian terhadap produk buatannya. Selama enam tahun pemantauan secara statistik ditemukan bahwa dalam jangka panjang, sekitar 5-10 tahun akan terjadi infeksi berat pada pengguna vaksin yang belum terinfeksi Dengue.

“Dalam pantauan ditemukan beratnya penyakit infeksi dengue derajat I dan derajat II. Padahal kalau secara klinik, derajat I dan derajat II itu tidak berat. Yang berat itu derajat III, IV. Kalau derajat III itu ada syok, perdarahan hebat. Kalau 1,2 kalau pendarahan paling mimisan, atau perdarahan di kulit,” kata Sri.

Kondisi itu bisa memanbah 2 dari 1.000 pengguna vaksin yang mengelami infeksi dengue berat, atau 5 dari 1.000 pengguna yang menjalani perawatan.

Menurut Sri, angka itu termasuk kecil dibandingkan dengan infeksi ringan.

Selain itu, vaksin Dengue telah disetujui oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sebelum beredar luas di masyarakat. Berdasarkan penelurusan di laman cekbpom.go.id, Dengvaxia memiliki nomer registrasi DKI1659703344A1 yang terbit pada 31 Agustus 2016. Registrasi obat diterbitkan oleh Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi Obat. Pendaftaran dilakukan oleh Aventis Indonesia Pharma.

Sri, yang pernah menjabat sebagai ketua tim peneliti pada uji klinis vaksin dengue, menyebutkan bahwa BPOM memberikan izin edar berdasarkan hasil uji klinis yang telah dipublikasi sebelumnya.

“Dia (BPOM) pelajari dulu beberapa publikasi, dan kalau dia mengatakan penelitian ini valid, semua jumlah kasusnya cukup, cara penelitian tidak bohong, tidak bias, dia bisa mengatakan oke, bisa diregistrasi,” ujarnya.

Menurut Sri, alasan lain dari persetujuan itu adalah kondisi Indonesia yang menyandang predikat sebagai negara dengan jumlah prevalensi yang tinggi. Pengidap infeksi dengue dapat mencapai 100.000 kasus per tahun.

Penelitian seroprevalens telah dilakukan untuk mengetahui jumlah infeksi dengue di 30 kabupaten di Indonesia, pada anak umur 1-18 tahun. Hasilnya, 26 persen anak umur 1 tahun dan 81 persen umur 9 tahun pernah terinfeksi dengue. Kemudian, 95 persen dari umur 18 tahun pernah mengidap infeksi dengue.

https://sains.kompas.com/read/2017/12/11/095600523/kontroversi-vaksin-dbd-dengvaxia-apa-kata-peneliti-indonesia-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke