JAKARTA, KOMPAS.com -– Kementerian Kesehatan telah menetapkan kemunculan penyakit difteri sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Hingga November 2017, 20 provinsi telah melaporkan adanya difteri dengan 593 kasus dan 32 kematian.
Difteri termasuk penyakit yang mudah menular. Meski cuma bernafas, risiko tertular difteri tetap tinggi. Bakteri penyebab difteri dikeluarkan melalui cairan mulut, seperti saat batuk atau bersin.
Untungnnya, difteri yang berbentuk pseudomembran (lapisan putih) pada mukosa hidung sampai tenggorokan masih bisa disembuhkan dengan Anti Difteri Serum (ADS), dan pihak rumah sakit tak perlu khawatir ketersediaan ADS yang dimiliki pemerintah.
“Jadi RS tidak usah khawatir, tapi SOP penanganan kasus difteri tetap dilakukan dan melaporkan. Cara yang paling gampang kalau kita punya Whatsapp, langsung difoto penyakit difterinya. Jika ada membran putih ditenggorokkan kemudian kita berikan ADS,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Mohamad Subuh, dikutip dari keterangan pers Kemenkes, Jumat (8/12/2017).
ADS merupakan obat yang paling efektif jika ditemukan positif difteri. Diperlukan waktu 3-5 hari untuk menurunkan membran putih. Selain ADS, orang terdekat dari pengidap difteri juga perlu mendapatkan antibiotik.
Subuh pun mengingatkan, meski produksinya langka, pemerintah telah menyimpan ADS sebanyak 1.000 dosis.
“ADS expired-nya hanya sebentar, sehingga ini benar-benar harus kita gunakan dengan efektif. Saya selalu berkomunikasi dengan dokter anak dan dokter spesialis penyakit dalam untuk bisa menegakkan diagnosis ini (difteri) secara tepat karena obatnya terbatas sekali,” ucap Subuh.
Subuh menuturkan bahwa Kemenkes telah berkomunikasi dengan WHO di India dan di Jenewa terkait permintaan bantuan obat difteri. WHO, kata Subuh, siap untuk membantu kebutuhan Indonesia dalam menangani difteri.
Pada tanggal 11 Desember 2017 mendatang, Kemenkes juga akan melakukan imunisasi ulang atau ORI (Outbreak Response Immunization) pada 11 Desember 2017 di tiga provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Ketiga provinsi ini dipilih karena tingginya prevalensi dan kepadatan masyarakat.
Subuh mengharapkan kesediaan masyarakat untuk mendapatkan imunisasi. Hal ini diperlukan untuk menciptakan kekebalan kelompok sehingga menurunkan risiko kemunculan atau penularan difteri.
“Sasarannya anak usia 1-18 tahun diberikan secara gratis. Untuk usia di atas 18 tahun, saat ini kami mohon maaf dari pemerintah belum bisa memberikan gratis, bisa swadaya sendiri,” ujar Subuh.
https://sains.kompas.com/read/2017/12/09/210500923/punya-1.000-dosis-obat-difteri-kemenkes-imbau-agar-tak-khawatir