KOMPAS.com — Banjir di Desa Ngeposari, Gunung Kidul, Yogyakarta, memang menarik perhatian.
Banjir layaknya danau dadakan yang terjadi pada Selasa (27/11/2017) tersebut merupakan dampak siklon tropis Cempaka yang mengakibatkan hujan ekstrem.
Ahli geologi Rovicky Dwi Putrohari mengungkapkan, fenomena tersebut bisa memberikan wawasan soal wilayah karst dan goa.
Menurutnya, banjir dengan air yang begitu jernih itu bisa terjadi karena adanya sungai bawah tanah di goa.
Saat hujan, air di wilayah karst dialirkan lewat sungai bawah tanah. Dalam kasus hujan kemarin, air yang ditumpahkan berlebihan sehingga tak sepenuhnya bisa dialirkan.
Rovicky mengatakan, banjir di Gunung Kidul sebenarnya limpahan dari air di sungai bawah tanah.
Dari fenomena ini, publik bisa mengetahui bahwa wilayah karst tidak sekering yang dilihat dan dibayangkan.
"Penyimpanan air daerah kapur (gamping) adalah di kantong-kantong berupa goa," kata Rovicky saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (2/12/2017).
Di lingkungan karst, sumber air satu dengan yang lain saling terkoneksi. "Seperti bejana berhubungan," ungkap Rovicky.
Karenanya, tak mengherankan mata air bisa muncul tiba-tiba di wilayah kapur. "Jadi mungkin sekali tiba-tiba muncul mata air yang cukup dalam meskipun tidak hujan deras," ujarnya.
Bagainana jika karst ditambang terus? Dalam jangka panjang, yang terjadi adalah berkurangnya kantong air.
Rovicky menuturkan, banjir di Gunung Kidul pasti akan surut. Namun, waktunya mungkin cukup lama karena ada runtuhan yang terbawa dan menyumbat sungai.
"Itu artinya akan bencana kekeringan akan mengancam,"katanya.
Penambangan di wilayah karst perlu dikelola dan dibatasi agar daerah itu terhindar dari ancaman kekeringan.
https://sains.kompas.com/read/2017/12/03/132256923/pelajaran-soal-karst-dan-air-dari-kasus-danau-dadakan-di-gunung-kidul