Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Matematika di Balik Kemacetan Tanpa Alasan yang Sering Anda Alami

KOMPAS.com -- Salah satu hal paling membosankan adalah terjebak macet.

Namun, pernahkah Anda mendapati laju kendaraan tiba-tiba melambat, berhenti total selama beberapa menit, kemudian jalan lagi dengan kecepatan penuh. Anehnya, tidak ada pembangunan, kecelakaan, atau alasan apa pun yang bisa menyebabkan macet.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Sejumlah peneliti menggunakan perhitungan rumus matematika serta uji coba di dunia nyata untuk mencoba menjawab pertanyaan ini, dan inilah jawaban mereka beserta saran untuk 'meniadakan' kemacetan.

Menurut para peneliti, ada reaksi berantai yang terjadi di jalan raya. Misalnya, saat sebuah kendaraan melakukan rem untuk melewati gundukuan kecil, kendaraan di belakangnya akan mengerem dan begitu seterusnya yang dilakukan mobil di belakangnya. Pengereman tersebut membuat arus lintas melambat atau terpaksa berhenti.

"Gelombang lalu lintas ini timbul dari gangguan kecil dalam arus lalu lintas yang seragam, seperti benjolan di jalan, atau pengemudi yang mengerem setelah kurang perhatian," kata Benjamin Seibold, seorang matematikawan di Universitas Temple, dikutip dari Vox, Jumat (12/08/2016).

"Mobil pertama rem sedikit, dan yang di belakangnya rem sedikit tambah lama, bahkan saat mobil meninggalkan gelombang lalu lintas ini, efek kemacetan perlahan berayun ke belakang, berlawanan dengan arah lalu lintas," katanya.

Seibold dan para peneliti lainnya menyebut fenomena ini sebagai kemacetan hantu yang panjangnya antara 100 meter hingga satu kilometer. Mereka pun mencoba mengembangkan konsep gelombang ini dengan menggunakan algoritme komputer yang mensimulasikan perilaku mengemudi:

Selain Seibold dan kolega, para peneliti dari Jepang juga telah melakukan eksperimen di dunia nyata, dan memperoleh kesimpulan yang sama.

Mereka menginstruksikan 22 pengemudi untuk berkendara di jalanan melingkar dengan kecepatan yang sama (18,6 mph) dan mempertahankan jarak antar mobil.

Hasilnya, para pengemudi yang awalnya bergerak teratur mulai kehilangan kontrol kecepatan, mengerem, dan menyebabkan kemacetan beruntun.

Berdasarkan model-model di atas, dapat dilihat bahwa kemacetan lebih sering terjadi ketika para pengemudi berusaha menyetir secepat mungkin dan mengerem agar tidak menabrak mobil di depannya.

Oleh karena itu, Seibold pun berpendapat bahwa kemacetan dapat dihindari apabila pengemudi bisa mengantisipasi kepadatan lalu lintas di depan mereka, kemudian mengurangi kecepatan dan menyisakan jarak yang cukup dengan mobil di depan mereka, tanpa harus melakukan pengereman.

Berthold Horn, seorang ilmuwan komputer MIT, juga memiliki pendapat yang sama dengan Seibold. "Cobalah mengemudi sehingga Anda berada di posisi tengah antara mobil di depan dan di belakang Anda. Hal ini akan membantu Anda menghindari pengereman mendadak bila memungkinkan," katanya dikutip dari Vox.

Meski demikian, Seibold juga mengingatkan bahwa perilaku mengemudi tersebut tidak serta merta langsung menghilangkan kemacetan hantu. Apabila jumlah kendaraan sudah terlalu, kemacetan hantu akan tetap terbentuk walaupun para pengemudi telah mengantisipasinya.

Solusi yang lebih inovatif, kata Seibold, adalah mencontoh peraturan batas kecepatan yang telah digunakan di beberapa daerah di Amerika Serikat. Peraturan ini bisa secara efektif mengurangi kemacetan saat hendak masuk ke area padat lalu lintas, dan memecah gelombang kemacetan hantu.

Pada akhirnya, Seibold menemukan bahwa solusi yang paling komprehensif di masa depan adalah mobil pintar (self-driving). Alasannya, teknologi mobil tersebut lebih bisa mengendalikan kecepatan mereka dan mengakses data mengenai kecepatan lalu lintas di jalan, sehingga lebih efektif dalam mengantisipasi kemacetan daripada manusia. 

https://sains.kompas.com/read/2017/11/22/080400223/matematika-di-balik-kemacetan-tanpa-alasan-yang-sering-anda-alami

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke