Saat pertama kali tiba sebagai pengungsi bersama keluarganya di Jerman tahun 2013, dia ketahuan menderita penyakit genetik yang disebut junctional epidermolysis bullosa (JEB).
Penyakit yang belum diketahui obatnya ini menyebabkan kulit di sekujur tubuhnya menjadi rapuh dan melepuh.
Kondisi awalnya begitu menyedihkan. Anak laki-laki yang tidak diungkap identitasnya ini kehilangan hampir 80 persen lapisan permukaan kulit atau epidermisnya. Kulit normalnya hanya tersisa dibagian kepala dan kaki kirinya saja.
Keadaan tersebut membuatnya memiliki luka infeksi. Untuk mengatasi rasa sakitnya, sang anak juga harus diberikan suntikan morfin.
Dokter yang merawatnya sudah mencoba mencangkok kulit dari ayahnya, namun transplantasi itu gagal.
Hal itu sempat membuat dokter dokter bersiap memulai perawatan paliatif, pendekatan yang berfokus untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang menghadapi penyakit parah, setelah semua terapi konvensional gagal dilakukan.
Hingga akhirnya tim dokter dari rumah sakit anak-anak Ruhr University Bochum mencari bantuan ilmuwan Italia yang telah mempelajari teknik meregenerasi kulit di laboratorium, meskipun memang belum pernah diuji coba.
Tim dari Italia yang dipimpin oleh Michele De Luca dari University of Modena ini pertama-tama mengambil sampel dari kulit sehat pasien yang tersisa.
Kemudian, mereka melakukan rekayasa genetik sel kulit tersebut menggunakan virus untuk menghasilkan gen LAMB3 yang sehat dalam nuklei.
Gen LAMB3 memproduksi protein yang melekatkan epidermis ke lapisan kulit lebih dalam.
Pada kasus penyakit JEB, terjadi mutasi pada gen LAMB3 sehingga tidak bisa menghasilkan priotein penting untuk regenerasi kulit.
Tanpa protein yang dihasilkan gen LAMB3 tersebut kulit menjadi mudah melepuh, menyebabkan luka kronis dan membentuk bisul.
Dengan sampel kecil yang sudah diambil tersebut, ilmuwan bisa mengembangkan kulit yang akan digunakan untuk menutupi hampir seluruh tubuh anak laki-laki yang terluka.
Akhirnya pencangkokan kulit hasil rekayasa genetika ke tubuh anak kecil tersebut itu bisa berhasil.
"Ini adalah pertama kalinya dilakukan. Anak itu pada dasarnya kehilangan hampir seluruh epidermisnya." kata De Luca seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (8/11/2017).
Selama dua kali operasi pada musim gugur 2015, epidermis baru dilekatkan layaknya menggabungkan potongan-potongan kain perca hingga menutupi hampir seluruh tubuh pasien. Dalam sebulan, implan tersebut sudah menyatu ke lapisan bawah kulit.
"Begitu Anda berhasil menumbuhkan kembali epidermis, maka sel punca akan melakukan pembaharuan epidermis seperti pada orang normal. Dan yang kita lakukan berhasil," imbuhnya.
Dua tahun berjalan, dokter mengatakan hasil operasi berjalan baik. Kulit sang bocah sehat dan dia tidak perlu minum obat atau menggunakan salep.
Dia sudah kembali ke sekolah, bermain sepak bola dan saat terluka kulitnya sembuh secara normal.
Meski penelitian tidak menemukan bukti adanya mutasi yang berbahaya, tetapi satu hal yang perlu diperhatikan dari pengobatan ini adalah adanya perubahan genetik yang dapat meningkatkan kemungkinan kanker kulit.
Ke depannya, jika perawatan terbukti aman dalam jangka panjang ilmuwan percaya dapat digunakan untuk mengobati kelainan kulit.
Diprediksi ada sekitar 500.000 orang di seluruh dunia yang memiliki kelainan kulit ini. Temuan ini tentunya menjadi angin segar bagi pasien dan dunia kedokteran.
"Keberhasilan terapi penggabungan sel dan gen ini akan memiliki implikasi besar bagi pengobatan regeneratif dan penyakit genetik," tambah De Luca.
Temuan mengenai pengobatan penyakit langka ini yang sudah dipublikasikan di jurnal Nature,
sumber dan gambar https://www.theguardian.com/science/2017/nov/08/scientists-grow-replacement-skin-for-boy-suffering-devastating-genetic-disorder
http://www.sciencealert.com/7-year-old-boy-incurable-condition-80-skin-reconstructed-epidermolysis-bullosa
https://sains.kompas.com/read/2017/11/10/160201423/penyakit-langka-sebabkan-80-persen-kulit-tubuh-bocah-7-tahun-melepuh