KOMPAS.com -- Berita soal ditemukannya orangutan tapanuli atau Pongo tapanuliensis menjadi kabar menggembirakan bagi dunia sains.
Namun, kabar penemuan spesies ini tampaknya juga akan menjadi penanda bagi para peneliti untuk bekerja lebih keras lagi.
Apa pasal? Tak beda jauh dengan kedua kerabatnya, orangutan tapanuli yang ditemukan di Batang Toru, sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, ini diprediksi hanya tinggal 800 ekor saja di alam liar.
Mereka dibunuh sebagai hama pertanian, diburu untuk perdagangan hewan, serta terancam kehilangan habitatnya.
Ini artinya, waktu peneliti semakin sempit untuk mempelajari spesies yang baru teridentifikasi tersebut.
Sejak tahun 2006, ahli biologi Gabriella Frediksson dari Program Konservasi Orangutan Sumatra telah mendorong pemerintah daerah untuk membebaskan hutan Batang Toru dari aktivitas yang menganggu aktivitas ekosistem, seperti penebangan kayu.
Usahanya membuahkan hasil setelah sekitar 85 persen hutan akhirnya dilindungi.
Sayangnya, ancaman lain datang ketika 15 persen hutan yang tidak terlindungi akan digunakan untuk bendungan pembangkit listrik tenaga air. Jika memang hal itu terjadi, bendungan itu akan membelah wilayah tempat tinggal orangutan batang toru menjadi lebih kecil lagi.
Akses jalan akan dibangun, jalur pembangkit tenaga air akan melintasi hutan, dan menyebabkan satwa liar yang terancam punah akan menuju kepunahannya lebih cepat lagi.
Perkembangan ini menghasilkan keuntungan jangka pendek, tapi akan menyebabkan kerusakan jangka panjang.
Penemuan orangutan baru
Hasil penelitian ahli genetika dari Universitas Zurich Michael Krutzen, Anton Nurcahyo dari Sekolah Arkeologi dan Antropologi di Universitas Nasional Australia, dan kolega mengungkapkan jika analisis genetik pada orangutan tapanuli berbeda dengan saudaranya di Kalimantan dan Sumatera.
Mereka juga menemukan perbedaan yang jelas pada bentuk tengkorak, gigi, dan rahangnya. Bahkan penampakkan fisiknya pun terlihat khas, dengan bulu kusam dan kumis yang lebih menonjol serta jenggot yang terdapat pada orangutan betina.
Perilakunya juga berbeda. Mereka makan tanaman yang berbeda dengan kerabatnya dan pejantannya memiliki panggilan yang panjang dan bernada tinggi.
Temuan inilah yang membuat tim peneliti berpendapat jika orangutan yang mereka teliti merupakan spesies kera besar baru.
Namun, beberapa pihak menyarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai temuan yang sudah yang sudah dipublikasikan dalam jurnal Current Biology itu.
Salah satunya adalah kata Rebecca Stumpf, peneliti dari University of Illinois di Urbana-Champaign.
"Masih terlalu dini menyebutnya sebagai spesies baru bila hanya berdasarkan kerangka dan dua sampel genetik," katanya.
"Akan lebih baik jika ada lebih banyak bukti sebelum menyatakannya sebagai spesies yang berbeda," saran Stumpf seperti di kutip dari The Atlantic, Kamis (2/11/2017).
Kini, keberlangsungan hidup orangutan tapanuli dipertaruhkan, akankan generasi mendatang masih mengenalnya ataukah laju perkembangan zaman membantunya menuju kepunahan?
https://sains.kompas.com/read/2017/11/06/190800523/berlomba-menyelamatkan-kerabat-baru-orangutan