KOMPAS.com - Pohon kelapa sawit sekarang mewabah di Pulau Kalimantan yang tadinya liar dan tidak tersentuh. Hutan hujan yang menjulang tinggi ditebas dan kini pulau tersebut menjadi perkebunan monokultur yang monoton, sumber utama minyak kelapa sawit. Di Sabah, bagian utara pulau di wilayah Malaysia, pohon-pohon ini meliputi 20% dari keseluruhan negara bagian tersebut.
Berbagai persoalan yang disebabkan minyak kelapa sawit telah didokumentasikan dengan baik. Deforestasi telah menyebabkan kebakaran besar, emisi karbon yang luar biasa besar, dan menggiring orangutan menuju ambang kepunahan. Namun apa yang terjadi di perkebunan itu sendiri? Apa dampak pembalakan dan konversi hutan besar-besaran ekosistem dan keanekaragaman hayati?
Pemburu bangkai
Pemakan bangkai itu penting. Namun dalam memahami bagaimana ekosistem berfungsi, kelompok ini sering dilupakan. Mereka memainkan peran penting dengan membersihkan bangkai, salah satu hal yang penting untuk daur ulang nutrisi dan pencegahan penyakit. Gangguan pada pemburu bangkai mempunyai implikasi luas.
Untuk meneliti bagaimana kelompok pemakan bangkai beradaptasi dengan kenyataan baru mengenai perkebunan minyak kelapa sawit, saya pergi ke Sabah. Saya dan rekan-rekan saya merancang dan membuat perangkap umpan, dan meletakkannya di berbagai tempat di sepanjang sungai dalam proyek Stability of Altered Forest Ecosystem (SAFE).
Beberapa perangkap ditaruh di hutan perawan, beberapa di hutan yang telah dibalak dengan berbagai tingkat kerusakan, dan sebagian lainnya di antara perkebunan sawit.
Kami menangkap 118 hewan secara keseluruhan, yang paling banyak yakni musang Melayu dan biawak air Asia Tenggara yang merupakan kadal yang besar. Umpan kami juga diselidiki oleh anjing domestik, luwak berkerah, berang-berang bulu licin, luwak ekor pendek, babi janggut dan beruang madu. Hasil penelitian kami dipublikasi di PLoS One.
Terdapat kecenderungan yang konsisten: makin rusak tanahnya, makin banyak biawak air yang kami temukan, jumlah mereka berkurang seiring kami menjauh dari perkebunan menuju hutan yang tidak tersentuh. Musang Melayu adalah satu-satunya mamalia asli yang kami temukan di samping biawak air di perkebunan sawit, dan bahkan spesies ini pun memilih lokasi hutan dengan kualitas lebih tinggi.
Mengapa kiranya kadal nyaman berada di perkebunan?
Biawak air Asia Tenggara (Varanus salvator macromaculatus) awalnya berevolusi di hutan bakau kawasan tersebut, dan sebagian besar tidak berubah selama 17 juta tahun. Mereka utamanya beradaptasi untuk kehidupan di dalam dan sekitar air. Moncong mereka panjang dengan lubang hidung yang tinggi diujungnya untuk bernafas selagi menyelam. Ekor mereka panjang dan bekerja sebagai sistem propulsi air yang sempurna. Ketika biawak merasa terancam, ekornya berubah menjadi gada kuat bergerigi, yang membuatnya makin berbahaya.
Bagi warga desa di Borneo, biawak air memiliki reputasi buruk sebagai pemakan bangkai dan hama. Namun kebanyakan dari mereka sebenarnya adalah pemburu handal. Mata mereka beradaptasi untuk mendeteksi gerakan. Cakar mereka membuat mereka bisa memanjat dan mencengkeram mangsa. Dan punya 60 gigi bergerigi menghadap belakang, yang berevolusi untuk menyebabkan pendarahan dan robekan dalam pada mangsanya.
Pemakan yang tidak rewel
“Naga” ini punya kemampuan luar biasa dalam melahap hampir apa saja yang bisa masuk ke perut mereka. Makanan mereka mencakup binatang kecil yang tak ber-tulang punggung, krustasea dan amfibi hingga mamalia yang lebih besar, serta burung dan telurnya. Mereka bahkan memakan biawak lainnya.
Berhubung stres kadang membuat biawak air memuntahkan isi perutnya, kami mendapat kesempatan untuk bisa membuat pengamatan oportunis mengenai pola makan mereka. Kami menemukan beberapa hal yang benar-benar mengejutkan, dari sampah manusia seperti bungkus mie instan hingga duri landak yang sangat keras dan tajam yang begitu mudahnya merobek kulit manusia dan menghalangi hampir semua predator.
Pola makan yang tidak biasa inilah yang memungkinkan biawak air bertahan hidup di tanah perkebunan kelapa sawit. Di hutan alami yang mengelilingi perkebunan, mereka menghadapi persaingan dari mamalia predator dan pemakan bangkai seperti beruang madu, berang-berang, musang dan luwak. Di sana, biawak air hanya ditemukan dalam jumlah kecil dan ukurannya jauh lebih kecil.
Namun mamalia-mamalia tersebut sulit bertahan hidup di perkebunan. Kurangnya tutupan membuat suhu udara meningkat dan keragaman tanaman yang rendah memengaruhi rantai makanan. Kadal tentu saja tahan panas, dan adanya makanan tambahan dari sampah manusia membuat biawak air bisa bertahan, tumbuh mencapai ukuran yang mengerikan dan jumlah yang besar.
Lanskap yang dipenuhi kadal raksasa yang berkeliaran, segera saja menjadi ajang pertarungan. Tidak seperti kadal kecil yang menyelesaikan perselisihan mereka dengan lambaian tangan halus, kibasan ekor atau kepakan dewlap (kulit leher), biawak air menggunakan cara yang lebih kuno: berkelahi. Mereka berdiri dengan kaki belakang mereka yang berotot, perut bertemu perut dan bergulat, mereka mencabik, mencakar, menggigit dan menyerang, hingga salah satunya menyerah.
“Kelangsungan hidup yang paling kuat” inilah yang mendorong spesies jantan mencapai ukuran yang luar biasa. Namun ini juga salah satu alasan mengapa habitat yang rusak seperti kebun sawit bisa menjadi perangkap ekologis.
Ketersediaan makanan yang mudah dari lokasi sampah manusia atau hewan peliharaan menarik lebih banyak biawak jantan, menghasilkan rasio seks yang sangat tidak seimbang. Meningkatnya kompetisi untuk tempat utama di perkebunan berarti mereka menghabiskan banyak energi, dan menghadapi risiko cedera serius untuk mempertahankan wilayah dan berkelahi dengan pejantan lainnya. Meningkatnya beban parasit karena populasi yang padat mengurangi kebugaran keseluruhan individu, dan di samping beban energi bagi biawak dewasa, meningkatnya kepadatan spesies yang memangsa remaja, sangat mengurangi kesempatan spesies muda mencapai usia dewasa.
Saat ini, kadal raksasa ini tampak sehat. Dari semua hewan besar pemakan bangkai asli Kalimantan, mereka adalah spesies satu-satunya yang telah sukses beradaptasi dengan perkebunan. Namun dalam jangka panjang, kulminasi dari efek samping mungkin dapat membuat biawak air bernasib sama dengan beruang dan mamalia lainnya yang dulu menghuni ruang yang kini didominasi oleh kelapa sawit.
PhD Candidates di University of Belfast
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.
https://sains.kompas.com/read/2017/10/30/083000323/kadal-raksasa-berkembang-pesat-di-perkebunan-sawit-borneo