Jika melanggar, maka malapetaka, seperti sakit, sial, dan kematian, akan membayangi hidup para perusak mangrove.
Hingga saat ini, kepercayaan tradisional ini masih bertahan di wilayah Desa Torosiaje dan desa-desa di sekitarnya, Kabupaten Pohuwato.
Memanfaatkan kepercayaan ini, warga desa yang umumnya Suku Bajo berhasil mengembangkan kawasan hutan mangrove.
Selain itu, warga juga sepakat untuk menyusun Peraturan Desa (Perdes) yang melarang penebangan mangrove dan merusak habitat pesisir.
Cerita sukes pengelolaan hutan mangrove di Popayato Barat ini dipresentasikan oleh Putri Astuti Mamonto (22) yang terpilih mengikuti Youth Camp 2017 .
Acara tersebut diselenggarakan oleh Climate Institute, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di pelestarian lingkungan melalui isu perubahan iklim.
Putri Mamonto mewakili Universitas Negeri Gorontalo, bersama 18 mahasiswa dari perguruan tinggi ternama di Indonesia, terpilih mengikuti Youth Camp di Kepulauan Seribu, Jakarta pada 16-19 Oktober 2017.
Putri Mamonto adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang juga menyandang Putri Pariwisata Gorontalo 2015. Selama ini ia dikenal sebagai Duta Burung yang banyak mengkampanyekan pelestarian burung liar di habitatnya.
“Keberhasilan pengelolaan hutan mangrove melalui Kelompok Sadar Lingkungan Paddakauang di Popayato Barat merupakan kontribusi nyata dalam mempertahankan kualitas lingkungan,” kata Putri Mamonto, Jumat (13/10/2017).
Menurut Putri Mamonto, mangrove dan habitat pesisir lainnya memiliki kemampuan menyerap karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan hawasan hutan, apalagi hutan memiliki kecenderungan berkurang luasannya.
“Di Desa Torosiaje bahkan sudah ada Peraturan Desa yang melarang penebangan mangrove. Ini ditaati semua warga desa,” papar Putri Mamonto.
Aturan ini selaras dengan kepercayaan tradisional masyarakat yang menyebutkan bahwa ada banyak makhluk halus yang bersemayam di pohon mangrove. Merusak mangrove berarti mengusik dunia makhluk gaib.
Di luar habitat ikan, ekosistem hutan mangrove yang dilestarikan Suku Bajo ini merupakan kawasan penting dalam menjaga dan merawat bumi.
“Ekosistem ini merupakan karbon biru (blue carbon), di dalamnya juga ada rawa payau dan padang lamun,” ujar Putri Mamonto.
Ekosistem laut ini mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam sendimen secara terus-menerus. Ini berbeda dengan ekosistem daratan yang cenderung berkurang.
Menurut Putri Mamonto, karbon diserap dan disimpan oleh organisme laut dalam wujud sendimen yang ditimbun selama ratusan, bahkan ribuan tahun.
Para habitat pesisir ini menjadi penyedia fungsi ekosistem yang sangat penting, termasuk sebagai penyerap karbon berkapasitas tinggi.
Pemuliaan ekosistem laut yang dilakukan KSL Paddakauang ini adalah aksi nyata untuk menyerap emisi gas karbon yang dilepas banyak pabrik, terutama di negara maju.
Emisi gas karbon sebagai produk industrialisasi dan gaya hidup konsumtif sebagian besar masyarakat yang dilepas ke udara terus-menerus menyebabkan suhu atmosfer meningkat.
Naiknya suhu atmosfer ini yang biasa disebut sebagai pemanasan global (global warming). Pemanasan inilah yang mengganggu keseimbangan bumi, menyebabkan perubahan iklim.
Suhu yang meningkat membuat lapisan es di kutub mencair, permukaan air laut meningkat, bencana kekeringan dan kebakaran terjadi di mana-mana, penyakit dan wabah menambah derita banyak warga terutama di negara berkembang, hingga pertanian gagal panen karena tidak pastinya cuaca dan iklim.
“Kisah sukses KSL Paddakauang yang diketuai Umar Pasandre dalam mempertahankan ekosistem hutan mangrove memberi harapan baru bagi warga dunia secara global. Ini kontribusi nyata peran orang desa di dunia global,” ujar Putri Mamonto.
KSL Paddakauang melakukan pelestarian hutan mangrove seluas 109 hektare yang memanjang 5 km di pesisir Desa Bumi bahari, Torosiaje Jaya dan Torosiaje.
“Penanaman mangrove yang kami lakukan hingga di desa Trikora dan Dudewulo, total luasan mencapai 40 hektare, dengan melibatkan siswa sekolah, karang taruna, dan kaum wanita,” kata Umar Pasandre.
Umar mengaku penanaman mangrove ini tidak langsung dirasakan manfaat ekonominya oleh warga, namun mereka yakin dengan memiliki hutan mangrove ini ketersediaan ikan terus melimpah.
Kesuksesan KSL Paddakauang melestarikan mangrove ini mendorong Pemerintah Provinsi Gorontalo mengusulkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Cerita sukses ini mendorong kami untuk memfasilitasi pengusulan KEE,” kata Rahman Dako, penggiat lingkungana Gorontalo.
Jika usulan ini disetujui, maka Torosiaje dan sekitarnya adalah KEE yang pertama di Provinsi Gorontalo.
Dari pesisir Popayato Barat yang berada di lengan utara Pulau sulawesi, orang-orang Bajo ini telah memberi sumbangan nyata mengurangi emisi karbon dunia.
https://sains.kompas.com/read/2017/10/30/073000523/kisah-makhluk-halus-dan-usaha-warga-desa-torosiaje-menjaga-mangrove