Pertanyaannya adalah kenapa banyak orang percaya pada teori-teori tersebut, meski pun bukti-bukti yang ada berbicara sebaliknya?
Dilansir dari Time, Minggu (15/10/2017), teori konspirasi yang paling umum adalah teori yang mengikuti perkembangan arus politik. Sebagai sebuah aturan yang luas, partai yang tidak berkuasa akan lebih cenderung percaya pada persekongkolan daripada mempercayai kelompok yang berkuasa.
"Teori konspirasi adalah untuk yang kalah," kata Joseph Uscinski, profesor ilmu politik dari University of Miami dikutip dari Time, Minggu (15/10/2017).
Uscinski menekankan bahwa dia menggunakan istilah ini secara harfiah dan tidak bermaksud merendahkan. "Orang-orang yang kehilangan kekuasaan, baik uang atau pengaruh mencari sesuatu untuk menjelaskan kerugian itu," sambung salah stau penulis dari buku American Conspiracy Theories itu.
Jadi, secara konsisten dan dapat diprediksi, teori-teori konspirasi muncul bersamaan dengan masa pemilihan umum atau pemilihan presiden.
Namun tentu saja, tidak semua anggota partai dan pemilih yang tidak puas dengan hasil pemilu mempercayai cerita-cerita konspirasi tersebut. Ada faktor lain, seperti tingkat pendidikan dan kekayaan.
Sebuah survei menunjukkan bahwa sekitar 42 persen orang dengan pendidikan rendah setidaknya percaya pada satu teori konspirasi. Sementara itu, hanya 23 persen orang dengan pendidikan tinggi percaya terhadap teori konspirasi.
Penelitian pada tahun 2017 juga menemukan bahwa rata-rata orang yang berpendapatan rendah cenderung lebih percaya pada teori konspirasi.
"Dalam kasus ini, teori konspirasi bisa seperti obat emosional," kata Joseph Parent, profesor ilmu politik di Notre Dame University.
"Anda tidak ingin menyalahkan diri sendiri atas hal yang mungkin merugikan Anda, jadi Anda menyalahkan pasukan anonim," sambung Parent yang juga merupakan rekan penulis dari Uscinski.
Hal yang sama pentingnya dalam mempercayai sebuah teori konspirasi adalah keinginan untuk menjadi istimewa atau berbeda. Itu merupakan sebuah kebutuhan yang muncul dalam semua demografi.
Penelitian yang dipublikasikan dalam European Journal of Social Psychology bulan Mei yang lalu, mengambil judul yang cukup provokatif "Too Special to Be Duped".
Penelitian ini mengabil survei yang dirancang untuk mengukur keinginan mereka akan keunikan atau menulis esai tentang pentingnya pemikiran indipenden.
Dengan margin yang signifikan, mereka yang memiliki kebutuhan tinggi untuk menjadi unik atau istimewa atau merasa senang dengan cara tersebut lebih cenderung percaya pada berbagai teori konspirasi.
"Sebagian kecil dari motivasi yang mendukung... keyakinan irasional merupakan sebuah keinginan untuk keluar dari keramaian," tulis para peneliti.
Hal tersebut sebagian menjelaskan mengapa meski sudah banyak bukti yang membantah teori konspirasi, tetapi para pengikut teori tersebut jarang mengubah pikiran mereka. Itu karena menyerahkan kepercayaan mereka berarti juga menyerahkan keistimewaannya.
Sebagai contoh, meskipun sudah banyak foto yang membuktikan tentang bentuk bumi yang bulat, pendukung teori bumi datar tetap menyangkalnya dengan menyebut foto tersebut sebagai rekayasa. Hal yang sama juga terjadi setelah melihat video yang direkam oleh astronot Thomas Pesquet dari European Space Agency.
"Mereka hanya memindahkan tiang gawangnya menjadi lebih jauh," kata Uscinski.
Lalu, semakin banyak orang yang bergabung dengan lingkaran teori konspirasi tersebut, semakin kecil kemungkinan untuk salah satu dari mereka melepaskan diri. "Grup afiliasi menjadi pusatnya. Keyakinan hampir seperti tato geng," kata Parent.
https://sains.kompas.com/read/2017/10/26/200901623/kenapa-banyak-orang-percaya-teori-konspirasi