JAKARTA, KOMPAS.com –- Penyakit jantung tak hanya dapat ditemukan pada orang dewasa. Kesalahan pada organ vital manusia itu dapat ditemukan pada anak, bahkan yang baru lahir.
Namun, kedua kasus ini sama sekali berbeda. Sebab, penyebab penyakit jantung pada anak yang baru lahir bukan karena tidak menjalankan pola hidup sehat.
“Beda sama anak. Kalau pada orang dewasa penyakit jantung yang didapat, kalau pada anak bawaan, sudah ada dari lahir,” kata Prof. Dr. dr. Mulyadi M Djer, SpA(K) dalam diskusi ‘Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawan pada Anak’ di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Rabu (25/10/2017).
PJB merupakan sepertiga dari seluruh penyakit bawaan yang ditemukan pada bayi dan anak. Di Indonesia, PJB muncul pada 2,3 persen angka kelahiran atau 50.000 bayi setiap tahun.
Mulyadi mengatakan, PJB dapat muncul karena faktor genetis dan perilaku orangtua yang tidak menjaga kesehatan. Namun, kedua faktor ini hanya menyumbangkan persentase yang teramat kecil.
Faktor genetis dari orang tua berperan meyumbangkan angka penyebaran sebesar tujuh persen. Ibu yang menghirup asap rokok, menjadi perokok aktif, mengonsumsi alkohol, atau minum obat di luar resep dokter juga ikut berperan. Namun, lagi-lagi persentasenya hanya 3 persen.
“90 persen penyebabnya kita tidak tahu. Masih dalam penelitian,” kata Mulyadi.
Hal ini terjadi pada Dyani Tri Wardini (31). Dyani sudah menjalani program kehamilan selama satu tahun dan menjaga kesehatannya, termasuk juga memeriksakan TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes). Akan tetapi, putrinya, Andi Senandung Cinta Yusuf, mengalami PJB.
Selain itu, Mulyadi menuturkan, meski anak pertama kedapatan mengidap PJB, bukan berarti anak kedua juga akan mengalami hal serupa.
“Menurut kita enggak usah takut. Jangan merokok, hidup tanpa stres, dan makan sehat. Kita tidak pernah melarang seorang ibu untuk hamil. Kemungkinan sakit lagi kecil. Lakukan yang bisa dihindari, tapi yang enggak bisa kita tidak tahu,” kata Mulyadi.
Secara umum, PJB terbagi menjadi dua kelompk: PJB biru (sianosis) dan PJB tidak biru (non-sianosis).
PJB sianosis dapat diidentifikasi dengan tanda biru pada bibir, ujung jari, dan kuku. Kondisi ini terjadi pada 25 persen kasus kelainan jantung.
Menurut Mulyadi, warna biru tercipta karena adanya pencampuran darah, antara darah kotor dan darah bersih yang seharusnya terpisah.
“Tergantung beratnya penyakit. Kalau yang parah dari lahir sudah kelihatan (warna biru) dan kalau yang ringan baru muncul pada umur 6 bulan,” kata Mulyadi.
Sebaliknya, PJB non-sianosis tak memiliki tanda kebiruan. 75 persen anak pengidap PJB masuk dalam ketegori ini.
Selain itu, anak yang mengalami sindroma down punya faktor risiko terjangkit sebesar 40 persen. Untuk itu, deteksi awal menjadi penting dilakukan sebelum anak pengidap sindroma down berumur enam bulan.
“Kalau klasik, dia sesak, tapi kebanyakan tidak ada gejala. Ya disarankan begitu (deteksi awal) supaya down syndrome lebih baik dipastikan apakah ada atau tidak,” kata Mulyadi.
Mulyadi menuturkan, umumnya operasi PJB dapat dilakukan maksimal hingga anak berumur dua tahun. Lebih dari itu, PJB bisa merunkan tingkat kesembuhan dan mengakibatkan komplikasi, seperti pada paru dan otak.
Jika sudah menyerang otak, anak yang telah dioperasi dapat memiliki jantung yang normal, tetapi tidak dapat menikmati masa kecilnya.
“Dia bisa kejang. Jika sudah dioperasi seperti stroke. Anak tidak bisa ngapa-ngapain meski jantungya sudah normal. Kalau ke paru bisa meninggal mendadak,” kata Mulyadi.
https://sains.kompas.com/read/2017/10/25/191945223/penyakit-jantung-bawaan-bisa-terjadi-meski-orangtua-sudah-hidup-sehat