Oleh Jatna Supriatna*
KOMPAS.com -- Kepulauan di Indonesia bagian tengah—antara Jawa, Bali dan Kalimantan di barat dan Papua di wilayah paling timur Indonesia—adalah area yang penuh keajaiban, sebuah laboratorium hidup untuk mempelajari evolusi.
Daerah ini dinamai Wallacea, dari Alfred Russel Wallace, penjelajah dan naturalis dari Inggris yang hidup di abad ke-19. Ketika ia menjelajah kepulauan nusantara, Wallace mengembangkan teori seleksi alam.
Ia menyadari ada perbedaan karakteristik antara hewan-hewan di Kalimantan dan Sulawesi dan di Bali dan Lombok, meskipun pulau-pulau tersebut berdekatan. Ia mengajukan teori bahwa ada garis tak kasat mata yang membujur antara Kalimantan dan Sulawesi dan Bali dan Lombok, yang memisahkan fauna dari pulau-pulau tersebut.
Di Kalimantan dan Bali hidup hewan-hewan seperti macan, badak, dan gajah, yang karena populasi manusia bertambah dan menyebar semakin terancam. Di Sulawesi dan Lombok menuju timur dari Kepulauan Maluku, kita temukan marsupial, beragam monyet yang berwajah tak biasa, dan hewan endemis yang sangat menarik. Hewan endemis artinya mereka asli daerah tersebut atau hanya ada di daerah tertentu.
Garis tak kasat mata itu sekarang dikenal sebagai Garis Wallace dan wilayah di antara garis tersebut dan Papua dikenal sebagai Wallacea.
Ilmuwan sekarang tahu bahwa Kalimantan dan Bali pernah terhubung sebagai bagian dari Sundaland, sebuah daratan luas yang meliputi Semenanjung Melayu di daratan utama Asia, juga Jawa dan Sumatra. Daratan ini tampak selama 2,6 juta tahun hingga es mulai meleleh sekitar 14.000 tahun yang lalu, merendam sebagian daratan dan menciptakan kepulauan Indonesia.
Mahkluk-makhluk Wallaceas
Wallacea meliputi Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, berbagai pulau kecil dan sedang di timur Sulawesi dan pulau-pulau “Busur Banda”, serta pulau-pulau Sunda Kecil atau Nusa Tenggara, di selatan Sulawesi dan Kepulauan Maluku.
Wallacea adalah zona transisi antara daerah biogeografis Indo-Malaya Raya and Australasia. Jutaan tahun berada dalam relatif isolasi menghasilkan fauna endemik yang luar biasa untuk berkembang di sini.
Di Wallacea terdapat 697 spesies burung, 249 (36%) di antaranya endemik. Tingkat sifat endemis ini meningkat menjadi 44% juga kita hanya mempertimbangkan burung yang tidak bermigrasi.
Di Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya, ada 328 spesies burung, 230 di antara tidak bermigrasi dan 97 spesies endemis, contohnya burung maleo.
Wallacea memiliki 201 mamalia lokal (terkecuali ikan paus dan lumba-lumba), 123 di antaranya endemis. Jika kita tidak memasukkan spesies kelelawar yang jumlahnya 81, yang memiliki kemampuan berpindah lebih besar, tingkat endemis mamalia Wallacea meningkat menjadi 93%.
Sulawesi, pulau terbesar di Wallacea, memiliki mamalia dalam jumlah terbesar, 132 spesies, 83 (63%) di antaranya endemis.
Sulawesi memiliki beberapa spesies yang menjadi kebanggaan wilayah tersebut seperti Anoa (Bubalus depressicornis), kerbau kecil yang tinggal di hutan Sulawesi, dan Babirusa (Babyrousa babyrussa), babi yang misterius dengan cula yang panjang menembus kulit dari bibir atas.
Primata Sulawesi juga spesial. Setidaknya tujuh spesies monyet hanya ada di pulau tersebut. Sulawesi juga memiliki beberapa spesies tarsius – makhluk kecil bermata besar yang lebih mirip kodok mamalia yang tinggal di pohon daripada monyet.
Keragaman reptilia juga cukup tinggi, dengan 188 spesies, 122 (65%) di antaranya endemis. Reptil paling terkenal dari Wallacea, dan spesies dari Indonesia yang paling ternama, adalah komodo atau ora (Varanus komodoensis).
Komodo adalah kadal terberat di dunia (komodo jantan bisa mencapai 2,8 meter panjangnya dan memiliki bobot sekitar 50 kilogram). Komodo hanya tinggal di Pulau Komodo, dan pulau tetangga Padar dan Rinca di barat, dan di daerah barat dan pantai utara Flores.
Untuk ikan air tawar, sebagian besar dari 210 spesies yang tercatat dari sungai-sungai dan danau di Wallacea bisa hidup di air tawar maupun air payau sampai titik tertentu.
Kita masih perlu melakukan lebih banyak riset mengenai spesies ikan. Di Kepulauan Maluku dan Sunda Kecil, fauna ikan masih jarang dipelajari.
Namun, setidaknya diketahu sekitar enam pulau endemis. Di Sulawesi, ada sekitar 69 spesies yang dikenal, 53 (77%) di antaranya endemis.
Di pojok timur laut Sulawesi terdapat Danau Malili, sebuah wilayah dengan danau yang dalam, jeram, dan sungai. Di sini setidaknya telah berkembang 15 ikan telmatherinid yang cantik.
Tanaman di Wallacea tidak begitu dikenal seperti tetangga-tetangganya. Spesimen botani yang dikumpulkan di daerah ini lebih sedikit dibandingkan pulau-pulau besar lain di Indonesia.
Kita juga tidak tahu banyak tentang fauna invertebrate Wallacea. Meski beberapa kelompok seperti kupu-kupu sayap burung yang sangat besar cukup dikenal.
Wallacea juga memiliki lebah terbesar di dunia (Chalocodoma pluto) di utara Kepulauan Maluku. Para betina bisa tumbuh hingga panjangnya mencapai 4 sentimeter. Mereka juga luar biasa karena mereka membuat sarang secara komunal di daerah yang ditinggali rayap di pohon-pohon hutan dataran rendah.
Dampak manusia
Seperti di berbagai tempat lain, keadaan di Wallacea berubah drastis pada satu abad terakhir. Populasi manusia hampir berlipat empat. Pembangunan di Indonesia secara umum berjalan sangat cepat.
Pembukaan hutan pertama di Wallacea dimulai pada awal abad ke-21. Hutan-hutan dibabat untuk pertanian, hutan produksi kayu, dan skema pemindahan penduduk yang menempatkan ratusan ribu orang dari daerah padat penduduk Jawa ke pulau-pulau lain yang tidak begitu padat (dan kurang produktif).
Ini semua telah mengurangi habitat hutan, terutama di dataran rendah, dan mengakibatkan penurunan populasi spesies hutan secara dramatis dan parah (beberapa spesies penurunannya sampai 90%).
Banyak hutan yang tersisa diberikan untuk konsesi hutan produksi kayu. Lebih jauh, kebakaran hutan dan lahan terus menjadi masalah besar. Ini diperparah oleh kekeringan yang disebabkan pembukaan hutan dan pertanian, dan dalam beberapa situasi pembakaran yang disengaja.
Secara umum, sekitar 45% dari Wallacea masih memiliki tutupan hutan. Namun untuk hutan yang masih dalam kondisi alami, persentase tersebut turun hingga hanya sekitar 15%, atau sekitar 50.774 kilometer persegi.
Saat ini, perlindungan hutan di Wallacea tidak terlalu intensif. Wilayah yang dilindungi adalah sekitar 24.387 kilometer persegi atau 7% dari wilayah keseluruhan.
Tentu saja, menetapkan area konservasi hanya langkah awal. Sesudah wilayah tersebut ditetapkan, perlu manajemen, dan kerja sama antara masyarakat lokal, pemerintah, dan sektor swasta untuk benar-benar berhasil melindungi keragaman hayati. Selama jutaan tahun, makhluk-makhluk yang luar biasa berhasil berkembang. Kita punya kewajiban moral untuk melindungi keajaiban ini.
*Professor of Conservation Biology, Universitas Indonesia
Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation
https://sains.kompas.com/read/2017/10/17/080400223/wallacea-laboratorium-hidup-evolusi