Choirul mengalami benturan dengan rekan satu timnya, Ramon Rodgrogues dan penyerang Semen Padang, Marcel Sacramento.
Kasus meninggalnya Choirul menjadi sorotan publik. Di tengah detail sebab meninggalnya yang belum diungkap jelas, publik memberi komentar pertolongan pertama pada Choirul.
Terlepas dari sebab yang belum jelas dan perdebatan tentang pertolongan pertama, ada pelajaran penting bagi dunia olahraga Indonesia terkait insiden ini.
Dr dr Tri Maharani, Kepala Instalasi Gawat Darurat di RS Dungus, Madiun, Jawa Timur mengatakan, keterampilan tim medis olahraga di Indonesia belumlah dapat dikatakan baik.
Penanganan dalam keadaan darurat masih belum memenuhi standar.
“Kita tidak punya alat pijat jantung yang bagus sehingga kalau ada kasus emergency, penanganannya kurang," kata Tri.
"Piat jantung tangan biasa bisa tapi kalau pertandingan besar gitu seharusnya pakai alat," imbuhnya.
Tri bercerita tentang kasus Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Deerah Kota Batu, Achmad Suparto yang meninggal dunia saat bermain futsal.
Suparto terkana serangan jantung di tengah pertandingan dan tidak mendapat pertolongan pertama dengan benar.
Untuk itu, menurut Tri, tim medis dalam pertandingan tidak hanya diisi orang yang punya keahlian terkait patah tulang, tetapi juga anggota medis dan alat pijat jantung.
Tri yang menjadi bagian dari tim dokter medis ASIAN Games 2018 itu juga mengatakan, sudah saatnya Indonesia menggagas pemeriksaan kesehatan sebelum bertanding.
Pemeriksaan itu bisa meliputi elektrokardiografi untuk memeriksa kesehatan jantung dan pemeriksaan fisik.
“Apa dia ada cidera atau tidak itu harus diperiksa, atau ada riwayat aneurisma. Kalau pernah patah tulang pakai pengaman diri. Kalau perlu pemain itu tidak bertanding secara penuh,” kata Tri.
Tri menuturkan, pemeriksaan kesehatan belumlah dilakukan pada semua cabang olahraga. Cabang olahraga tinju menerapkan pemeriksaan namun sebatas berat badan. Sedangkan sepakbola, menurut, Tri tak melakukan hal itu.
“Saya beberapa kali lihat pertandingan sepakbola Indonesia jarang ya. Kalau pemeriksaan laboratorium, lihat elektokardiografi jarang. Ini perlu sehingga kami dokter emergency punya data apa yang harus disipakan. Harusya ada medical check up sebelum bertanding,” kata Tri.
Sementara itu, Alfan Nur Asyhar, dokter tim nasional U-16 Indonesia, mengungkapkan bahwa kasus Choirul Huda menegaskan perlunya pendidikan khusus bagi tim medis olahraga.
"Mengeluarkan budget yang besar untuk medis saya rasa bukanlah kerugian," katanya.
Menurut Alfan, pengetahuan tentang cedera olahraga perlu dikuasai tim medis yang bertugas.
"Terkadang yang bertugas sebagai tim medis bukanlah seorang dokter, kadang fisioterapi, masseur, dan tenaga paramedis," katanya.
ia menambahkan, federasi juga perlu memikirkan penambahan alat yang diperlukan, mulai obat-obatan, alat emergency musculosceletal, emergency cardiorespiration, AED (defibrilator jantung), alat cek suhu udara dan kelembaban.
Alfan mengatakan, "Terjadinya kolaps atau pun susah napas di lapangan memang harus diselesaikan manajemennya di dalam lapangan sampai atlet bisa napas spontan sehingga dibawa ambulans dalam keadaan stabil."
Pemain pun perlu menguasai teknik pertolongan pertama agar bisa membantu rekannya.
"Kalau Fernando Torres (Atletico Madrid), pemain dalam lapangan sudah paham apa yang harus dikerjakan sambil menunggu tim medis masuk lapangan. Sementara kita belum tahu akan hal itu," imbuhnya.
Tri menuturkan, kasus ini menggarisbawahi perlunya dokter emergency di lapangan tempat bertanding untuk cabang olahraga apapun.
https://sains.kompas.com/read/2017/10/16/192715923/pelajaran-berharga-bagi-dunia-olahraga-dari-meninggalnya-choirul-huda