Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Krisis Pangan Mendunia, Benarkah Dipicu Migrasi Penduduk Desa?

KOMPAS.com -- Bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia, Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengambil tema Change the future of migration, invest in food security and rural development.

Tingginya migrasi dari desa ke kota maupun ke luar negeri menjadi perhatian FAO yang memperingatkan bahwa tidak adanya regenerasi petani muda dapat menyebabkan masalah pangan yang serius.

Tejo Wahyu Jatmiko, koordinator Nasional Aliansi Desa Sejahtera (ADS) mengatakan kepada KOMPAS.com pada Senin (16/10/2017), tema yang ditetapkan oleh FAO, saat ini juga dialami oleh Indonesia.

Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa petani paling banyak berada pada kelompok usia 45-54 tahun karena banyak petani muda yang memilih untuk bermigrasi ke kota.

Baca: Upaya Petani di NTT agar Tidak Menjadi TKI ke Luar Negeri 

Tingginya tren ini dipicu oleh adanya alih fungsi lahan, harga jual hasil pertanian yang rendah, dan kebutuhan bahan pokok yang harganya terus melambung.

Hal-hal ini kemudian menjadi faktor kunci sebagai masalah pangan di Indonesia maupun dunia.

Solusi masalah pangan di antara makin sedikitnya petani muda

Tejo menyebutkan, sebenarnya kita punya peluang saat presiden terpilih, Jokowi, saat itu memilih kedaulatan pangan untuk membereskan masalah pangan di Indonesia.

"Kedaulatan pangan ini kan subyeknya petani berskala kecil. Namun, sekarang program itu belum berjalan sempurna. Peningkatan dan pengembangan kapasitas petani memang sudah dilakukan, namun masih skala kecil. Insentif dan perhatian terhadap regenerasi petani (juga) masih kurang," sambungnya.

Tejo juga menjelaskan bahwa untuk membereskan masalah pangan di Indonesia, negara harus punya kebijakan untuk membereskan masalah lahan dengan melakukan redistribusi.

Hal tersebut memang tidak gampang, tetapi Tejo juga menyebutkan bahwa pemerintah harus memberikan keberpihakannya yang jelas.

Terkait lahan, Tejo juga berpendapat bahwa investasi pertanian perlu dilakukan dengan hati-hati, apalagi masih ada kebijakan dari pemerintah terdahulu yang belum dicabut. Dalam kebijakan tersebut, pemerintah membuka peluang untuk investor membuka lahan pertanian tanpa kewajiban untuk menjual hasil pertaniannya ke Indonesia.

Maka dalam hal kedulatan pangan, yang dimaksud berinvestasi di sini sebaiknya adalah negara.

Namun jika ingin melibatkan pihak swasta, maka harus dipastikan bahwa petani itu mendapatkan prioritas. Skema hubungan investasi ini harus benar-benar ditata. Di sini pemerintah harus menjadi wasit yang seadil-adilnya antara petani dan pihak swasta.

Regenerasi Petani

Ia juga menambahkan, untuk regenerasi petani harus selalu ada pembaharuan. Misalnya, saat ini anak muda sedang senang dengan tren start up dan bisnis, maka regenerasi petani bisa diarahkan ke hal-hal tersebut.

Selain itu, untuk menarik minat para anak muda tersebut, pemerintah juga perlu memberikan insentif atau kemudahan.

"Sebenarnya kita punya peluang dari dana desa, dan lain sebagainya," kata Tejo.

Rata-rata dana desa adalah Rp 1 milyar per tahun. Dengan dana tersebut, desa seharusnya bisa membangun kembali sektor pertaniannya agar anak-anak muda di desa tertarik untuk kembali menjadi petani.

Baca: Pakai "Bioslurry", Panen Cabai Petani Ini Melimpah

"Namun sekarang ini sayangnya, prioritasnya masih infrastruktur. Maka modal bisnis untuk pertanian itu hampir tidak ada," ujar Tejo lagi.

Selain itu, kendala pada pengembangan kemampuan petani masih sangat minim. Banyak desa yang menjadi binaan Tejo masih kesulitan mendongkrak dana untuk pengembangan.

"Contohnya di Bogor. Dari dana desa yang dikelola, tidak sampai satu persen untuk pemberdayaan," lanjutnya.

Hal inilah yang menurut Tejo harus segera diubah supaya Indonesia tidak kehilangan momentum.

https://sains.kompas.com/read/2017/10/16/181131123/krisis-pangan-mendunia-benarkah-dipicu-migrasi-penduduk-desa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke