Setelah kebohongan besarnya terbongkar, sikap Dwi menuai kecaman dan rasa prihatin baik dari kalangan ilmuwan maupun awam.
"Saya pikir cuma Setnov yang pandai bersandiwara, ternyata ada temannya," kata Kasetto Sugoi, salah satu pembaca Kompas.com dalam komentarnya.
Bahkan Made Menaka, juga pembaca, berkomentar, "Enggak usah pulang ke Indonesia. Bangsa Indonesia perlu orang jujur, bukan orang pintar berbahaya."
Dwi memang salah. Dia bukan satu-satunya orang non Eropa yang masuk ring satu Badan Antariksa Eropa (ESA). Saat ini, dia masih mahasiswa doktoral, masuk dalam grup Interactive Intelligent.
Namun, Achmad Adhitya yang sempat menjabat ketua organisasi ilmuwan diaspora Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) mengungkapkan, menguliti kebohongan Dwi saja tidak membawa manfaat.
"Ke depannya kita harus tahu mau apa. Jangan berhenti pada menguliti kesalahan Dwi," ungkapnya saat berbincang dengan Kompas.com, Minggu (8/10/2017).
Pelajaran bagi Bangsa
Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Satrio Soemantri Brodjonegoro, mengatakan, kasus Dwi adalah pelajaran berharga, bukan cuma bagi Dwi sendiri tetapi juga bangsa Indonesia.
Ia mengatakan, pelajaran terpenting dari kasus adalah pentingnya kejujuran. Menurutnya, ilmuwan bisa gagal tetapi jujur itu harus.
"Ilmuwan itu satu aja sifatnya yang dipegang, kebenaran. Ilmunya harus yang benar. Tidak boleh mengklaim yang bukan keahlian kita,” katanya.
Satrio mengatakan, tak perlu malu mengakui jika seorang ilmuwan tak menguasai tema di luar keahliannya. Dengan begitu, seorang telah berpegang teguh terhadap etika keilmuan.
Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), LT Handoko, mengungkapkan, kasus mirip Dwi di Indonesia sebenarnya banyak.
"Pada banyak kasus, meski yang bersangkutan tidak ecara proaktif dan vulgar seperti Dwi, tetapi mereka mendiamkan dan seolah menikmati," katanya.
Menurutnya, kasus Dwi menunjukkan bangsa Indonesia haus prestasi dan inspirasi. "Pada saat yang sama menunjukkan literasi iptek bangsa Indonesia masih rendah," katanya.
Sementara itu, Danang Birosutowo dari CNRS-Nanyang Technological University-Thales Research Alliance mengatakan, kasus Dwi menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah Indonesia.
Berulang kali, pemerintah Indonesia "jatuh cinta" pada orang dan sains yang salah. Ini tercermin dari kasus padi supertoy dan blue energy.
Pemberian kesempatan kepada Dwi Hartanto dalam ajang World Class Professor mencerminkan kurangnya perhatian pemerintah pada peneliti.
Pemerintah kurang perhatian pada peneliti sehingga tidak mengenal apa yang dilakukannya dan akhirnya hanya tahu jika sang peneliti mempromosikan habis-habisan karyanya, yang bisa jadi bohong belaka.
Kasus padi supertoy, blue energy, dan Dwi Hartanto mencerminkan, pemerintah kurang mengecek kebenaran klaim seorang ilmuwan.
"Jarang melibatkan orang yang tepat untuk mengeceknya. Rata-rata mereka yang mengecek, biar pun doktor, hanya orang politik dan birokrasi," ungkapnya.
Adhitya dan Danang juga mengungkapkan, kasus Dwi merupakan pelajaran bagi jurnalisme sains yang kerap diwarnai klaim.
"Kalau klaim-klaim itu tidak disebarkan ke media, kan tidak perlu klarifikasi," kata Danang. "Penting konfirmasi pengecekan ke beberapa narasumber."
Mau Apa Setelah Kasus Dwi?
Adhitya yang sejak 2010 aktif di I4 dan menyebarkan kisah sukses ilmuwan Indonesia untuk menginspirasi publik mengungkapkan, "harus diakui kisah ini menjadi set back buat kita."
Ia menuturkan, mengumpulkan ilmuwan dan mengajak berkomunikasi pada publik bukan hal yang mudah. Drama dwi Hartanto dapat membuat minat ilmuwan berkomunikasi pada publik turun.
"Mereka bisa khawatir jika memberikan informasi kepada wartawan. Ilmuwannya khawatir dicap bohong. Padahal yang bohong cuma 1, yang beneran 1000," katanya. Menurutnya, kasus Dwi bisa jadi momentum perbaikan.
Adhit mengajak rekan-rekan ilmuwan untuk tidak patah arang dalam berkomunikasi dan menginspirasi publik.
Bagi pemerintah, kasus Dwi layak jadi momentum untuk meningkatkan perhatian pada sains serta melibatkan peneliti dalam pengambilan kebijakan.
Menurutnya, penghargaan pemerintah yang paling dibutuhkan peneliti adalah pemberian peran. Dengan memberikan peran, pemerintah akan mengenal karya-karya peneliti.
"Presiden dalam membuat kebijakan seyogyanya memperhatikan pandangan para ilmuwan, seperti halnya Presiden Obama yang setiap hari berkonsultasi dengan science advisornya," kata Satrio.
Terhadap Dwi Hartanto sendiri, Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), LT Handoko mengungkapkan bahwa publik dan ilmuwan tidak perlu mengutuk Dwi berlebihan.
"Sebaiknya kita biarkan Dwi kembali hidup tenang dan fokus meningkatkan diri untuk masa depannya," kata Handoko.
https://sains.kompas.com/read/2017/10/09/203634823/kasus-dwi-hartanto-haruskah-kita-menguliti-dan-membunuhnya