Oleh Budiman Minasny*, Anthony Reid**, dan Dian Fiantis***
KOMPAS.com -- Gunung Agung di Bali saat ini berada pada status IV Awas, satu tingkat sebelum meletus (erupsi), akibatnya lebih dari 100.000 orang dievakuasi dari zona bahaya. Jika erupsi terjadi, salah satu dari kami (Dian) akan segera berangkat ke Bali untuk mengumpulkan abu dan tanah yang terdampak.
Letusan ini dikhawatirkan dapat menjadi bencana yang besar akibat lava, abu dan awan panas yang bersuhu tinggi dapat mencapai 1.250?. Lava akan mengalir menyusuri lereng gunung, sedangkan abu terlempar ke atmosfer bahkan stratosfir. Awan panas dan abu vulkanis membawa risiko yang serius terhadap manusia dan penghidupannya. Semburan abu saat erupsi gunung api tak hanya memengaruhi penerbangan dan pariwisata, tapi juga berdampak pada kehidupan dan aktivitas pertanian bagi para petani. Awan panas menghanguskan tanaman, abu vulkanis menimbuni lahan pertanian dan merusak tanaman. Tetapi dalam jangka panjang, abu akan menciptakan tanah yang paling subur di dunia.
Meskipun luas tanah vulkanis hanya sekitar 1% saja dari luas daratan bumi, ternyata tanah vulkanis dapat menghidupi 10% dari populasi dunia. Tidak mengherankan kawasan vulkanis termasuk area dengan kepadatan penduduk yang tinggi.
Cincin api
Indonesia terletak di gugusan Cincin Api Pasifik, serangkaian gunung berapi yang membentang dari Sumatra melalui Jawa dan Bali, Maluku hingga Timor, dan merupakan lokasi tektonik paling berbahaya di dunia.
Sepanjang sejarah, letusan gunung berapi di Indonesia telah memengaruhi iklim dunia, terutama Gunung Toba yang meletus begitu dahsyat sekitar 74.000 tahun yang lalu, yang mengakibatkan musim dingin selama enam tahun. Gunung Tambora dikenal karena letusan hebatnya pada 1815 dan menyebabkan satu tahun tanpa musim panas di Eropa, dan letusan Gunung Krakatau pada 1883 juga memengaruhi dunia.
Letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa pada tahun 1815 melemparkan sekitar 160 kilometer kubik material vulkanis ke atmosfer. Bencana ini memengaruhi populasi di pulau-pulau sekitarnya, termasuk Bali. Pertanian hancur oleh tumpukan abu dan kurangnya sinar matahari. Diperkirakan penderitaan ini berlangsung selama 10-15 tahun sebelum abu berubah menjadi tanah subur.
Letusan Gunung Agung pada 1963-64 mengeluarkan 0,95 kilometer kubik materi vulkanis dan lava. Sekitar 1.580 orang dilaporkan tewas karena aliran lahar yang cepat disertai dengan gas beracun.
Namun, jika letusan yang sekuat itu terjadi besok, korban jiwa tidak akan separah itu karena saat ini kita memiliki sistem peringatan dini.
Implikasi untuk negara tetangga
Hampir setiap tahun dan silih berganti terjadi letusan dari berbagai gunung api di Indonesia (ada 66 gunung yang sedang dipantau, dan 50-60 dianggap “aktif”), dikhawatirkan akan datang letusan yang besar.
Letusan besar akan sangat destruktif bagi bangsa Indonesia. Letusan besar juga akan memengaruhi iklim dunia, dan memberi tantangan bagi negara-negara tetangga untuk mengatasi gangguan lalu lintas udara serta pada saat yang sama membantu jutaan orang Indonesia untuk bertahan dan pulih dari bencana alam ini.
Letusan dengan kategori sedang pun, diperkirakan akan terjadi pada setiap dekade, akan memaksa ratusan ribu orang pindah. Untuk mengatasi ini perlu persiapan mitigasi yang sistematis.
Gunung api dan kepadatan penduduk
Di sepanjang dekade lalu, di berbagai lokasi di Indonesia, banyak gunung meletus, seperti Merapi (2010) di Jawa Tengah, Sinabung (dimulai tahun 2014 sampai saat ini) di Sumatra Utara, dan Kelud (2014) di Jawa Timur.
Meski gunung api menyimpan bahaya, wilayah dengan aktivitas vulkanis yang tinggi dikenal sebagai wilayah pertanian yang paling subur di dunia. Tanah vulkanis mengandung nutrisi seperti potasium dan fosfor yang berasal dari abu letusan gunung api yang baik untuk tanaman.
Ilwuwan Belanda E.C.J. Mohr pada 1938 mengamati bahwa wilayah dekat Gunung Merapi memiliki kepadatan penduduk yang tinggi di wilayah-wilayah yang tanahnya berasal dari abu vulkanik.
Adanya tanah jenis ini menjadi alasan mengapa Pulau Jawa mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi, sekitar 1.100 jiwa per kilometer persegi. Beberapa tahun setelah Gunung Galunggung meletus pada April 1982, tingkat produktivitas pertanian di wilayah sekitar Tasikmalaya meningkat.
Abu vulkanis, lumbung pupuk
Dian Fiantis dari Universitas Andalas adalah pemburu abu vulkanis. Ia melihat letusan gunung berapi sebagai kesempatan untuk mempelajari bagaimana tanah terbentuk, sebuah proses yang membutuhkan ribuan bahkan jutaan tahun. Ia telah mengumpulkan abu langsung setelah gunung-gunung meletus di Sumatra dan Jawa.
Tephra (istilah ilmiah untuk abu vulkanis) mengandung mineral primer yang memiliki banyak unsur hara. Dengan berjalannya waktu, terjadi proses pelapukan kimia dan biologi, abu akan mengeluarkan unsur hara dan area permukaan butiran abu akan membesar, dan mampu menampung lebih banyak nutrien dan air.
Selain itu, tephra memiliki kemampuan untuk menyerap karbon dari atmosfer dalam jumlah besar dan menyimpannya di tanah.
Pada Januari 28, 2014, Gunung Sinabung meletus dan menyemburkan aliran piroklastik dan “hujan lumpur”. Abu menutup hampir seluruh Desa Sigarang-garang, yang terletak di timur laut kaki gunung. Abunya mengandung unsur hara terutama kalsium, magnesium, potasium, dan fosfat dalam jumlah besar.
Diperkirakan wilayah tersebut menerima 250 juta ton abu yang mengandung unsur hara–setara dengan 10 juta ton pupuk.
Saat kami mengunjungi desa tersebut pada Januari 2017, kami melihat lumut sudah tumbuh di atas abu, bahkan rumput juga sudah tumbuh. Wilayah ini menampung zat organik yang cukup substansial, yang mengandung hingga 4% karbon organik. Artinya mereka bisa menyerap karbon dalam jumlah banyak dari atmosfer melalui tanaman.
Mohr mengajukan teori bahwa kepadatan populasi Indonesia yang begitu tinggi disebabkan keberadaan gunung api yang aktif.
Namun letusan gunung api yang secara rutin terjadi seantero negeri juga membawa kehancuran bagi orang-orang yang tinggal di sekitar gunung api.
Fenomena alam ini memperbarui tanah, tapi butuh waktu yang lama sampai abu dapat melapuk. Kita perlu menemukan solusi yang dapat mempercepat waktu pembentukan tanah. Meyakinkan petani lokal bahwa dibalik bahaya letusan gunung tersimpan hikmah tersembunyi, ternyata fenomena alam menjaga tanah Indonesia tetap subur adalah sebuah tantangan.
Kami juga berharap pemerintah Australia mengembangkan kapasitas untuk membuat model dan menyiapkan respons yang tepat untuk bencana yang besar, yang mungkin terjadi dalam jangka waktu yang panjang.
Kerja sama antara militer dan badan penanggulangan bencana antara Indonesia, Papua New Guinea, dan Timor Timur harus dimulai sebelum bencana letusan Gunung Agung melanda, untuk mengembangkan rasa saling percaya, saluran komunikasi dan strategi.
*Professor in Soil-Landscape Modelling, University of Sydney
**Emeritus Professor, School of Culture, History and Language, Australian National University
***Professor of Soil Science, Universitas Andalas
Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation
https://sains.kompas.com/read/2017/10/06/070900223/letusan-gunung-agung-bisa-menghasilkan-tanah-tersubur-di-dunia