JAKARTA, KOMPAS.com -– Kesehatan jiwa peduduk Indonesia perlu mendapatkan perhatian. Tak seperti penyakit fisik, gangguan kesehatan jiwa seringkali tidak dirasakan hingga gejalanya memuncak.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2013 menyebutkan, prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia sebesar 6 persen. Prevalensi tertinggi dimiliki oleh Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.
Lingkungan kerja ikut menyumbangkan faktor gangguan kesehatan mental. Depresi, pelecehan seksual, dan intimidasi adalah beberapa contohnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Dr. dr. Fidiansjah, Sp.KJ, MPH mengatakan, 1 dari 6,8 orang mengalami masalah kesehatan jiwa di tempat kerja. Pada wanita yang bekerja penuh waktu, risikonya menjadi dua kali lipat dibandingkan dengan laki-laki.
“Wanita punya peran ganda jadi ibu, istri, dan lainnya. Ini bukan berarti laki-laki tidak punya peran ganda. (Tapi) Hormonalnya juga berbeda dengan laki-laki,” kata Fidiansjah di gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta, Kamis (5/10/2017).
Fidiansjah menuturkan, masalah kesehatan jiwa tak hanya berdampak pada individu. Secara global, estimasi biaya penanganan masalah kesehatan jiwa mencapai 2,5 triliun dolar Amerika (sekitar Rp 33,6 kuadriliun) setiap tahun. Pada tahun 2030, diperkirakan jumlahnya akan mencapai 6 triliun dolar Amerika (sekitar Rp 80,7 kuadriliun).
Untuk itu, menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober, Firdiansjah berkata bahwa pihaknya akan mengundang seluruh komponen untuk membahas pembukaan ruang konselor di tempat kerja.
“Pada 10 Oktober 2017 nanti, kami akan undang organisasi yang terlibat. Kami bicarakan pedoman teknisnya sehingga momentum ini bisa kita pakai untuk memperlebar aturannya, juklak (petunjuk pelaksaan) dan juknis (petunjuk teknisnya). Selama ini kan belum ada,” kata Firdiansjah.
Dia pun berharap agar program tersebut dapat berjalan pada awal tahun 2018. Sebelum itu, payung hukum dan aturan melalui Peraturan Pemerintah (PP) akan dibuat.
Sementara itu, Anggota Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki) Nuri Purwito Hadi berkata bahwa pembuatan ruang konseling tidak harus diikuti dengan penambahan dokter jiwa pada kantor pemerintah dan swasta. Dokter umum pun bisa digunakan bila mampu dan mengerti konseling.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah membangun sistem agar pekerja mau secara sukarela datang ke klinik. Hal ini perlu diterapkan untuk menghindarkan stigma “gila” saat berkonsultasi.
Nuri mencontohkan mekanisme perobatan HIV AIDS yang berhasil tanpa adanya stigma di salah satu perusahaan. Dalam perusahaan tersebut, level manajerial tak mengetahui adanya karyawan yang mengidap dan menjalani perobatan HIV AIDS.
“Masalah mental diharapkan juga begitu. Kalau klinik ada, dokter ada, tapi pekerjanya enggak sadar dan acuh, itu sama saja bohong. Perusahaan bisa menerapkan manajemen K3. Lalu indentifikasi faktor risikonya, termasuk kesehatan mental. Kemudian buat program,” kata Nuri.
https://sains.kompas.com/read/2017/10/05/214454023/kemenkes-akan-atur-ruang-konseling-di-tempat-kerja