JAKARTA, KOMPAS.com –- Pada pertengahan April 2012 lalu, terjadi gempa di pesisir barat Sumatera. Dengan kekuatan 8,6 magnitudo, gempa itu menjadi gempa terbesar dibandingkan gempa serupa, seperti di San Fransisco dengan 7,9 magnitudo pada 1906 dan di Selandia Baru dengan 8,2 magnitudo pada 1855.
Untungnya, tsunami yang terjadi dari gempa tersebut tidaklah besar. Ketinggian air yang datang ke dataran tak seperti gempa-tsunami di Aceh pada tahun 2004 ketika gelombang tsunami mencapai 30 meter dengan korban meninggal sebesar 170.000 orang.
Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nugroho Dwi Hananto mengatakan, sumber gempa pada tahun 2012 berbeda dengan gempa 2004.
Pada 2004, gempa terjadi di zona subduksi, di mana lempeng Hindia disubduksi oleh lempeng Burma. Sementara itu, pada 2012, gempa terjadi di kerak Samudra Hindia.
“Kalau zona subduksi, kalau dia besar, dia bisa membuat tsunami. Kalau di kerak Samudra, biar pun besar, tsunami yang dihasilkan cuma 30 sentimeter. Karena dia bergeser mendatar, tidak ada pergeseran vertikal yang signifikan,” kata Nugroho di Institut Francais Indonesia (IFI), Minggu (24/9/2017).
Kesimpulan ini didapat dari riset geosains keluatan MIRAGE I yang merupakan kerjasama riset internasional antara LIPI, Institut de Physique du Globe de Paris (IPGP) Perancis, Earth Observatory of Singapore (EOS), dan Nanyang Technology University Singapura. Mereka menggunakan kapal riset R/V Marion Dufrense, kapal riset terbesar yang dimiliki Perancis.
Dalam MIRAGE I pada 2016 lalu, Nugroho mengatakan, para peneliti berhasil membuat peta dasar lautan. Dari situ, terlihat banyak patahan aktif yang bergerak mendatar.
Bagi peneliti Indonesia, temuan ini merupakan salah satu kemajuan terhadap analisis gempa. Sebab, biasanya gempa hanya dilihat dari sinyal seismik yang direkam jauh dari sumbernya.
“Kami melihat langsung di atas sumber gempa. Ada dua patahan besar. Mugkin ini aktifnya pada saat gempa tahun 2012 lalu. Ada patahan kerak Samudra di zona patahan F5, F6, F7. Apabila zona ini bergerak satu sama lain, maka terjadi gempa besar yang kita rasakan 2012 lalu,” kata Nugroho.
Dia mengatakan, ketiga zona patahan itu memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik yang saling mempengaruhi antara zona patahan menjadi salah satu fokus yang akan digali dalam perjalan riset MIRAGE II sejak 25 September hingga 21 Oktober 2017 mendatang.
Menurut Nugroho, analisis zona patahan menjadi penting untuk diketahui, mengingat tidak adanya data karakteristik kerak Samudra Hindia. Dengan begitu, hasil analisis menjadi salah satu persiapan mitigasi gempa mendatang.
Selain itu, mempelajari gempa bisa menjadi kalkulasi untuk mengetahui kemungkinan adanya gempa lain sehingga kerentanan Indonesia yang rawan gempa dapat diketahui.
“Selama ini hanya melihat gempa megathrust saja kan, seperti di Mentawai. Gempa di darat diperhatikan kalau kotanya rusak. Sumber gempa itu harus dipelajari secara komprehensif. Seperti gempa megathrust 2004, mungkin dia dipengaruhi gaya yang ada di Samudra Hindia sehingga muncul gempa 2012. Ini harus waspada juga,” kata Nugroho.
Setelah pulang dari penelitian MIRAGE II dan menganalisisnya, Nugroho berencana memberikan hasil penelitian itu kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang telah meluncurkan Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017. Peta itu merupakan perbaruan dari Peta Gempa tahun 2010.
“Secara regional, Indonesia mulai memimpin dalam riset geosains kelautan. Ini yang harus kita unggulkan. Asean dan Asia. Karena salah satu Nawa Cita kan kemaritiman, kita coba masuk lewat geosains kelautan bahwa Indonesia juga harus unggul di kawasan regional Asean,” kata Nugroho.
https://sains.kompas.com/read/2017/09/25/170600323/inilah-mengapa-gempa-sumatera-2012-tidak-semematikan-2004