KOMPAS.com -- Sejak ditemukannya vaksin human papillomavirus (HPV), kanker payudara telah membalap kanker serviks sebagai pembunuh perempuan nomor satu di Indonesia. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi dini.
Dipaparkan oleh salah satu pendiri Lovepink Shanti Persada di Seibu Department Store Grand Indonesia, Jakarta, pada hari Kamis (14/9/2017), hasil Lovepink Survey Jakarta yang diadakan pada bulan Agustus lalu menemukan bahwa ada pergeseran usia pasien kanker payudara di Indonesia. Jumlah pasien yang berada dalam rentang usia 30 hingga 39 tahun meningkat.
Lalu, 80 persen pasien yang datang ke dokter karena kanker payudara sudah berada di stadium lanjut (III atau IV).
“Jadi, ini sudah terlambat. Kalau di luar negeri 80 persen yang di stadium awal dan 20 persen yang di stadium lanjut, sedangkan kita terbalik, 80 persen di stadium lanjut dan 20 persen yang di stadium awal,” kata Shanti.
Penemuan ini menunjukkan bahwa deteksi dini di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Sebanyak 80 persen dari responden survei mengaku bahwa mereka telah mengetahui gejala fisik kanker payudara, tetapi tidak melakukan periksa payudara sendiri (Sadari) dan pemeriksaan payudara klinis (Sadanis).
Dokter Ralph Girson Gunarsa, SpPD-KHOM, yang turut hadir di acara menyetujui hasil survei Lovepink. Bercermin dari pengalamannya sebagai spesialis kanker, dr Ralph mengatakan, saya berterima kasih sekali kepada Lovepink karena menyorot sesuatu yang memang kita (spesialis kanker) lihat selama ini.
Dia berkata bahwa usia pasien-pasien kanker sekarang sudah semakin muda, tidak hanya yang berusia 30-an saja, tetapi juga ada yang di usia 20-an dan bahkan belasan.
“Yang sangat kita sayangkan adalah pasien datang dengan stadium lanjut (III atau IV). Padahal, kalau masih stadium I atau II masih bisa disembuhkan dengan berbagai macam protokol,” ujarnya.
Melihat fakta-fakta ini, Lovepink pun memberikan beberapa rekomendasi:
1. Tes medis gratis
Meski pengobatan kanker payudara ditanggung oleh BPJS, tetapi pemeriksaan klinis untuk mendeteksi payudara belum ditanggung dan tergolong mahal. Untuk ultrasonografi medis, misalnya, biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp 800.000.
“Oleh karena itu, yayasan-yayasan menyuarakan agar semua perempuan Indonesia yang berisiko kanker payudara bisa melakukan pemeriksaan klinis tanpa biaya. Itu baru akan jalan deteksi dini,” kata Shanti.
Bila deteksi dini berjalan, dia berkata bahwa biaya BPJS yang tinggi terhadap kanker payudara, sekitar Rp 350 juta -1 miliar per orang, pun akan bisa ditekan.
2. Penyuluhan mengenai kanker payudara
Shanti berkata bahwa yang perlu dikenalkan kepada masyarakat tidak hanya deteksi dini berupa Sadari dan Sadanis saja, tetapi juga pengetahuan mengenai langkah lanjutan yang dapat diambil pasien setelah mendeteksi adanya benjolan.
Sebab, tidak sedikit perempuan Indonesia yang mendapat informasi hoax dan mengikuti pengobatan alternatif setelah terkena kanker payudara.
“Kalau kami dari yayasan sangat tidak menganjurkan pengobatan alternatif karena kalau dari pengalaman kami sendiri, pasien yang mengikuti pengobatan alternatif kembali dengan stadium yang lebih tinggi,” ujar Shanti.
https://sains.kompas.com/read/2017/09/14/160700623/ini-alasan-pasien-kanker-payudara-baru-ke-dokter-di-stadium-lanjut