KOMPAS.com -- 80 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 2 juli 1937, Amelia Earhart dan pemandunya, Fred Noonan, lepas landas dari Lae, Papua Nugini. Mereka akan terbang menuju sebuah pulau kecil di sebelah utara khatulistiwa, Pulau Howland.
Namun, mereka tidak pernah mencapainya. Lockheed Electra 10E, pesawat yang mereka tumpangi menghilang.
Usai hilangnya kontak, penjaga pantai AS dan angkatan laut melakukan pencarian di tempat tersebut dengan menggunakan kapal dan pesawat terbang selama dua minggu. George Putnam, suami Earhart, juga meminta marinir sipil untuk melanjutkan pencarian. Namun, Amelia tak pernah ditemukan.
Sejak saat itu, selama bertahun-tahun lamanya, hilangnya Amelia masih menjadi teka-teki dan mencuri perhatian berbagai pihak. Pencarian tetap dilakukan dan bahkan teori bermunculan untuk menjelaskan bagaimana dan di mana hidup perempuan pertama yang terbang melintasi Atlanik ini berakhir.
Baru-baru ini kembali diadakan sebuah ekspedisi pencarian Amelia Earhart. Tim ekspedisi yang diselenggarakan oleh Internasional Group for Historic Aircraft Recovery (TIGHAR) ini mulai berlayar pada 24 Juni 2017 dari Fiji.
TIGHAR sendiri setidaknya telah meluncurkan 12 misi untuk mencari keberadaan Earhart. Ekspedisi membawa tim ahli pencari jenazah serta anjing yang terlatih. Tujuan ekspedisi adalah sebuah pulau tak berpenghuni yang berjarak sekitar 1.600 kilometer dari utara Fiji, Nikumaroro.
Tim ekspedisi ingin menguji apa yang disebut hipotesis Nikumaroro. Hipotesis itu berspekulasi jika Earhart dan Noonan yang tidak bisa menemukan Pulau Howland akhirnya mendarat di Nikumaroro.
Pulau karang yang terdapat sekitar 500 kilometer laut barat daya Pulau Howland merupakan titik terakhir Earhart mengonfirmasi keberadaannya. Sementara di garis barat laut, tidak ada apa-apa selain samudra sejauh ribuan mil. Di bagian tenggara adalah Kepulauan Phoenix, yang termasuk salah satunya adalah Pulau Nikumaroro.
"Jika Anda tidak tahu di mana Anda berada, itu adalah arah yang logis untuk dituju," kata Ric Gillespie, direktur eksekutif TIGHAR.
Pulau Nikumaroro, yang kemudian disebut Pulau Gardner, memiliki hamparan karang datar yang bisa menjadi tempat bagi Earhart untuk mendarat.
Apalagi laporan yang diterima oleh tim ekspedisi juga mengungkap, saat pulau itu dikolonisasi pada tahun 1940, ditemukan 13 tulang yang kemudian dikirim ke Fiji. Namun, tulang-tulang itu kemudian menghilang. Administrator kolonial menduga itu adalah tulang-tulang Earhart.
"Ada potensi lebih banyak tulang lagi di sana. Sekitar 193 tulang yang belum diketahui," kata Tom King, arkeolog senior TIGHAR.
Bantuan anjing pelacak
Itulah mengapa dalam ekspedisi ini, tim kemudian membawa serta anjing pelacak yang terlatih. Anjing-anjing ini akan membantu melacak keberadaan Earhart di pulau Nikumaroro. "Mereka memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi daripada radar dalam mengidentifikasi benda-benda," kata Fred Hiebert, arkeolog lain yang terlibat dalam ekspedisi ini.
Meski begitu, misi ini punya tantangan tersendiri. Empat anjing yang dibawa harus bertahan dalam penerbangan trans-Pasifik dan juga menghadapi pelayaran selama hampir seminggu untuk sampai ke Nikumaroro.
Sementara itu, pulau itu sendiri panas, tertutup vegetasi yang lebat dan penuh dengan kepiting, termasuk kepiting kelapa. "Anjing-anjing ini tidak efektif dalam kondisi yang panas. Namun, setidaknya mereka bisa bekerja di sekitar semak belukar. Saya yakin mereka bisa mencium aroma," tambah Hiebert.
Jika mencium aroma tulang manusia, anjing-anjing tersebut kemudian akan duduk atau berbaring di dekat tempat dengan bau yang paling kuat. Setelah itu, arkeolog akan menggali area yang luas di sekitarnya.
Setelah tim menemukan tulang, mereka akan mengirimkannya kembali ke Amerika Serikat untuk dilakukan analisis DNA. Earhart memiliki keluarga yang bisa menjadi perbandingan, walaupun Noonan tidak.
Aroma jenazah di bawah pohon
Anjing pelacak ternyata berhasil menemukan titik di mana Earhart kemungkinan meninggal 80 tahun yang lalu. Titik tersebut memang sebenarnya pernah dipetakan oleh tim peneliti TIGHAR. Mereka menyebut tempat terbuka itu dengan sebutan situs tujuh.
Dalam beberapa saat sejak bekerja di situs tersebut, salah satu anjing bernama Berkeley berbaring di bawah pohon ren, menunjukkan jika dia mendeteksi aroma jenazah manusia. Anjing lainnya, Kayle, juga melakukan hal yang serupa di titik yang sama.
Hari berikutnya kedua anjing juga menunjukkan gelagat yang sama. Sudah jelas, seseorang, mungkin Earhart atau pemandunya, telah meninggal di bawah pohon ren.
Namun ternyata tak mudah bagi arkeolog untuk menemukan tulang-tulang tersebut. Hingga menjelang ekspedisi berakhir, tim belum berhasil menguak keberadaan tulang-tulang itu.
Arkeolog TIGHAR mempertimbangkan rencana cadangan, yaitu mengirimkan sampel tanah ke laboratorium yang mampu mengekstrak DNA. Hari terakhir ekspedisi, arkeolog mengisi lima kantong plastik dengan tanah dari sekitar pohon ren. Sampel tanah itu kemudian akan dikirim ke laboratorium DNA di Jerman.
Kini, tim peneliti menunggu hasil dari analisis DNA tersebut untuk memastikan apakah misteri hidup Amelia Earhart memang berakhir di pulau tersebut atau di tempat lain yang belum diketahui.
https://sains.kompas.com/read/2017/08/29/170400823/menelusuri-jejak-kematian-amelia-earhart