TANGERANG, KOMPAS.com -– Ketika tubuh merasakan sakit, menyembuhkannya terkadang menimbulkan pilihan yang sulit. Apakah Anda akan mengunjungi dokter atau menggunakan pengobatan alternatif? Pilihan itu akan berujung pada penggunaan obat yang diberikan.
Pada masyarakat awam, dikenal istilah obat kimia dan obat herbal. Obat kimia diidentikkan dengan obat yang diracik melalui proses kimiawi, sedangkan obat herbal umumnya dimaknai dengan obat yang berasal dari alam. Namun, benarkah demikian?
Sayangnya, pengategorian tersebut salah besar. Sebab, obat yang digunakan oleh para dokter di rumah sakit sejatinya juga diambil dari alam. “Obat dokter yang di rumah sakit itu diambil dari alam juga. Mana ada obat yang tidak alami?” kata dokter spesialis bedah saraf dr Roslan Yusni Hasan, SpBS, Tangerang, Selasa (22/8/2017).
Roslan mencontohkan, air yang menjadi kebutuhan dasar manusia merupakan senyawa kimia. Senyawa yang menjadi syarat kehidupan di bumi itu terdiri dari hidrogen dan oksigen.
Menurut Roslan, obat yang baik harus diketahui secara detail kandungan aktifnya sebelum dikonsumsi. Selain itu, cara kerja obat di dalam tubuh juga perlu mendapat perhatian. Tak berhenti sampai di situ, efek samping setelah obat dikonsumsi dan cara penanganannya juga harus diketahui.
Jika syarat-syarat di atas tidak diketahui, maka upaya penyembuhan pun menjadi tak terukur. Akan tetapi, pada obat herbal atau obat tradisional, syarat tersebut seringkali tidak diindahkan.
“Misalnya panas, dikasih paracetamol, dosisnya 50 miligram per kilogram berat badan per hari. Efek sampingnya bisa ganggu pencernaan. (Sedangkan) jamu belum jelas bahan aktifnya apa, dosisnya ya kira-kira saja. Karena tidak tahu bahan aktifya, tidak tahu juga efeknya,” ucap Roslan.
Untuk itu, pemilihan metode penyembuhan penyakit harus dilakukan secara bijak. Tanpa ukuran yang jelas, bukan tak mungkin keganasan penyakit malah meningkat.
https://sains.kompas.com/read/2017/08/23/080400423/obat-kimia-atau-obat-herbal-mana-yang-lebih-baik-