KOMPAS.com -- Pengalaman sebagai pasien kanker usus mendorong Ben Bravery untuk menekuni dunia kedokteran sekaligus mengajarkan pentingnya membangun komunikasi antara dokter dengan pasien. Sayangnya, hal ini sering tidak dilakukan. Simak penuturan Ben Bravery mengenai pengalamannya tersebut:
Saya belum lama ini meminta agar prosedur pemeriksaan kesehatan diperiksa kembali jika kanker yang sudah saya jalani pengobatannya 6 tahun silam, kambuh kembali. Syukurnya, kanker itu sudah sembuh.
Pemeriksaan kanker saya itu melibatkan kamera untuk melihat pertumbuhan tidak normal di dalam perut saya.
Tapi, saat berbaring di meja operasi menunggu dibius, tiba-tiba saya menyadari dokter yang akan melakukan pembiusan itu tidak memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Saya pikir mungkin mereka akan berbicara denganku setelah operasi. Ternyata saya keliru. Mereka bahkan tidak mengucapkan "Halo" kepada saya.
Hubungan antara pasien dengan dokter sama tuanya dengan pengobatan itu sendiri.
Meskipun banyak sekali kemajuan di bidang obat-obatan, teknik operasi dan pemindaian, proses penyembuhan selalu diawali dengan sebuah percakapan.
Namun tetap saja, aspek mendasar dari keahlian seorang dokter yang satu ini sering kali diabaikan dalam pelatihan mereka.
Saya tahu hal itu karena saya sendiri adalah mahasiswa kedokteran.
Perjalanan saya di bidang kedokteran berawal dengan diagnosis kanker usus ketika saya berusia 28 tahun.
Tapi, pengetahuan kedokteran saya berkembang seiring dengan rasa frustasi mengenai hal seperti cara berkomunikasi dokter dengan pasien yang tidak cukup sering dibahas oleh para dokter. Seharusnya hal itu tidak boleh mereka lakukan.
Keahlian penting
Mendapatkan riwayat medis - pencatatan kondisi pasien dari gejala sampai kebiasaan - merupakan 70 persen dari usaha mendiagnosis penyakit seseorang.
Tapi, seperti yang saya temukan dalam hampir tiga tahun di sekolah kedokteran, mahasiswa begitu sibuk dengan buku teks, dan hanya punya sedikit waktu untuk mengasah sesuatu yang sebenarnya merupakan senjata terpenting seorang dokter, yaitu seni membangun sebuah percakapan.
"Saya tidak menganggap komunikasi sebagai soft skill. Saya menganggapnya sebagai kemampuan yang sangat penting," demikian dikatakan Associate Professor Stuart Lane, spesialis perawatan intensif di RS Nepean Hospital dan Kepala Kajian Klinis dari Fakultas Kedokteran Sydney University.
"Komunikasi itu bukan soal apa yang hendak dikatakan – tapi apa yang hendak Anda dapatkan," ujarnya.
"Komunikasi yang buruk dapat menjurus pada insiden besar. Jika Anda tidak bisa berkomunikasi, Anda bukan dokter yang baik."
Dr Lane mengingat sering diminta memerintahkan rekannya untuk minggir saat terjadi insiden kritis karena komunikasi berjalan buruk.
Tentu saja, tidak ada penghalang bagi dokter untuk melakukan komunikasi yang berkualitas tinggi, seperti ditekankan oleh seorang dokter di AS yang juga akademisi, Danielle Ofri dalam bukunya, ‘What Patients Say, What Doctors hears’.
Menurut dia, meski kondisi klinik padat, anggaran ketat, tugas pencatatan dan dokumentasi yang tanpa akhir, tetapi kondisi tersebut tidak boleh jadi alasan untuk mengabaikan perangkat terpenting mereka, yaitu menjalin hubungan dengan pasien yang sakit dan terlibat dengan cara-cara bermakna.
Sering memotong percakapan pasien
Jika seorang dokter tidak membutuhkan waktu lama untuk berbicara kepada Anda, akibatnya bisasangat luas: riwayat medis yang lebih akurat dan pengetahuan mengenai jenis pengobatan, serta dampaknya bagi Anda sebagai individu.
Pada gilirannya, Anda cenderung menjalani pengobatan yang bisa Anda ikuti dan karena itu hasilnya akan lebih baik.
Namun, ketika saya berbicara tentang komunikasi dan bagaimana kita menjelaskan masalah medis kepada pasien, kebanyakan rekan-rekan dokter menunjukan raut wajah kebingungan.
Keluhan terbesar mereka adalah "tidak ada waktu" dan "Anda tidak bisa membiarkan pasien mengoceh".
Tapi penelitian menunjukkan hal sebaliknya.
Sebuah penelitian di Swiss pada tahun 2002, meminta dokter mengajukan pertanyaan awal dan membiarkan pasien menjawabnya tanpa disela. Hasilnya, rata-rata pasien hanya berbicara selama 92 detik - bukan berjam-jam sebagaimana ditakutkan oleh para dokter.
Meskipun demikian, para dokter dikenal sering memaksakan kehendak.
Sebuah penelitian lain menunjukan, para dokter memotong pembicaraan pasien pada jawaban pertama mereka, rata-rata hanya dalam waktu 23 detik sejak pasien bicara.
Hal ini membuat pasien bingung. Mereka merasa ketakutan belum sepenuhnya didengarkan dan kebutuhan mereka tidak terpenuhi.
Sebuah studi pada tahun 2005 di sebuah rumah sakit di New York, menemukan bahwa kurang dari setengah pasien yang dipulangkan dari rumah sakit mengetahui diagnosis mereka.
Penelitian lain dari Universitas Chicago menunjukan tidak sampai satu dari lima pasien di rumah sakit dapat menyebutkan nama dokter yang bertanggung jawab atas perawatan mereka.
Saya kira kondisinya sama dengan di Australia.
Teman sekelas saya, Rachel Langford, mengatakan seorang pasien datang untuk menjalani sebuah tes, tetapi dia tidak mengerti alasan mengapa dia harus melakukan tes itu.
"Mereka tidak mengerti apa yang mereka harus jalani atau mengapa tidak ada yang menceritakannya pada mereka," katanya.
Kabar baiknya, ada beberapa tanda menggembirakan kalau situasinya secara perlahan-lahan mulai berubah.
Para dokter yang mempersiapkan diri mengikuti ujian akhir pada kedokteran gawat darurat misalnya, sekarang berlatih berkomunikasi dengan pasien karena keterampilan ini biasanya akan diperiksa.
Dokter anak yang sedang menjalani masa magang sering diminta melakukan permainan dalam memberikan penjelasan yang khas kepada orangtua. Misalnya, apa yang terlibat dalam pengambilan sampel cairan dari tulang belakang bayi yang baru lahir.
Hal ini merefleksikan betapa berkomunikasi dengan pasien sama berharganya bagi para dokter dengan menilai tes diagnostik dan perawatan yang baru.
Dari sisi pasien
Tapi proses komunikasi itu dua arah. Pasien juga harus bersikap terbuka dalam melakukan dialog dengan dokter.
Untuk membantu proses ini, Dr Ofri menyarankan:
Hal ini membuat saya bertanya-tanya, ketika menjalani pemindaian usus atau colonoscopy, apakah seharusnya saya lebih kritis dan meminta bertemu dengan dokter tersebut terlebih dahulu sebelum obat bius mulai disuntikan ke lengan saya?
Saya pasien yang berpengalaman dan juga seorang mahasiswa kedokteran, dan biasa bekerja di rumah sakit.
Jika saya saja tidak memiliki keberanian seperti itu, bagaimana orang lain tanpa latar belakang seperti saya dapat memberitahu dokter mengenai apa yang sebenarnya mereka inginkan dan rasakan?
Ada beberapa hal yang dapat pasien lakukan untuk membantu terbangunnya komunikasi yang baik dengan dokter. Namun, saya meyakini tanggung jawab tersebut tetap dimulai dari pihak dokter.
Dan tentu saja hal itu harus diawali dengan sebuah sapaan sederhana "halo!"
https://sains.kompas.com/read/2017/08/19/210600823/satu-keahlian-penting-yang-sering-dilupakan-dokter