Sehari-hari, ia merasakan lemas, pusing, dan mual. Tiga kali seminggu, dia harus ke rumah sakit untuk cuci darah.
"Setiap kali sehabis cuci darah, saya drop. Paha saya memar karena suntikan. Pergi ke rumah sakit normal, pulang jalan pincang," katanya.
Tak adanya program asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) membuat uang dan harta benda Ambri ludes untuk pembiayaan pengobatan.
"Barang-barang banyak yang saya jual. Mobil saya jual. Pernah suatu saat, uang saya benar-benar tinggal goceng," ceritanya.
Namun ketika ditemui Kompas.com, Rabu (16/8/2017), Ambri tampak bugar. Kini ia bisa mengatakan bahwa gagal ginjal bukan akhir hidup.
Saat ditanya apa yang dikerjakannya sekarang, ia menjawab dengan mantap, "tetap melanjutkan hidup dan saya sekarang berwirausaha."
Menemukan Pengobatan yang Tepat
Salah satu faktor yang membuat Ambri kembali memiliki semangat hidup adalah karena menemukan pengobatan yang pas.
Mencari informasi di internet, ia menemukan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau bisa disebut cuci darah mandiri.
"Tidak banyak yang saya tahu awalnya. Cuma tahu kalau CAPD itu kita bisa lebih longgar atur makanan," katanya.
Gagal ginjal memang membuatnya harus mengontrol makanan secara ketat, mulai dari protein hingga asupan garam.
"Bahkan minum air putih pun harus diatur. Kalau tidak kencing, sehari hanya bisa minum maksimal 600 mili liter," ungkapnya.
Bermodal info fleksibilitas makan yang baginya akan memberi sedikit kenikmatan, Ambri konsultasi ke dokter. Tiga tahun lalu, akhirnya dia mulai menjalani pengobatan itu.
Menurutnya, CAPD memiliki kelebihan sebab penderita gagal ginjal tidak harus bolak balik ke rumah sakit dan memakan waktu.
"Dengan CAPD, saya tetap bisa melakukan kegiatan apa pun. CAPD nya saya bisa lakukan di rumah sendiri," jelasnya.
Ambri menceritakan, ia cukup mengalirkan cairan dialisis ke rongga perutnya. Cairannya sendiri mirip dengan cairan infus namun berfungsi menyaring racun.
Cairan yang berada dalam wadah plastik dialirkan dengan selang, dimasukkan ke rongga perut lewat kateter yang telah dipasang lewat operasi.
Sehari, cuci darah mandiri dilakukan 4 kali. Meski harus membawa cairan dialisis ke mana pun pergi, Ambri mengaku tak keberatan.
"Kalau bepergian dan harus CAPD, saya bisa mampir ke klinik terdekat dan melakukannya sendiri," katanya. Menurutnya, bagaimana pun CAPD tetap lebih praktis dari cuci darah.
Setiap bulan, kurang lebih Ambri menghabiskan 120 kantung cairan dialisis. Kateter diganti 6 bulan sekali tetapi bukan berarti operasi ulang.
Adanya kateter di rongga perut tidak menganggu. "Saya tetap bisa olahraga. Tidur tengkurap juga tidak masalah. Tidak ada ganjalan," katanya.
Dengan adanya BPJS, seluruh pengobatan dengan CAPD juga gratis. "Dari pasang kateter tidak mengeluarkan biaya sepeser pun," kata Ambri.
Hidup Tanpa Ginjal Itu Mungkin
Dari pengalaman Ambri, ahli ginjal dari Perkumpulan Nefrologi Indonesia, Tunggul Situmorang, mengungkapkan penderita gagal ginjal saat ini tidak perlu merasa hidupnya berakhir.
"Hidup tanpa ginjal itu keniscayaan. Dan bukan hanya hidup, tetapi hidup yang berkualitas, bermakna, dan mampu berkarya," katanya.
Menurutnya, ada pilihan pengobatan gagal ginjal saat ini. Penderita bisa memilih CAPD, cuci darah, dan transplantasi.
Bila penderita datang dengan kondisi sangat buruk, menurutnya cuci darah konvensional menjadi pilihan utama.
Pasalnya, CAPD tidak bisa membersihkan sampah dalam darah dan mengurangi penumpukan cairan tubuh secara cepat.
"Tetapi CAPD cocok untuk perawatan jangka panjang dan untuk penderita yang fungsi ginjalnya masih tersisa," katanya.
Tunggul mengungkapkan, kesintasan orang yang menjalani CAPD juga cukup tinggi. Yang diperlukan adalah ketekunan menjalankan CAPD serta menjaga tekanan darah.
https://sains.kompas.com/read/2017/08/16/202148323/hidup-tanpa-ginjal-itu-keniscayaan-ambri-lawu-membuktikan