Survei PDSKJI dilakukan dengan pendekatan mirip studi American Psychological Association (APA) saat pemilihan presiden Amerika 2016 lalu. Dalam survei itu, tim dokter bekerjasama dengan Selasar.com.
Dari 700 data pengguna yang digunakan untuk obyek survei, ada 107 partisipan dengan 85 diantaranya milenial (berumur 19 - 27 tahun). Sementara, diantara sejumlah obyek itu, 32 adalah warga Jakarta.
Instrumen survei menggunakan Tylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) dengan 50 pertanyaan tertutup untuk mengukur tingkat kecemasan partisipan.
“Yang menunjukkan kecemasan lebih tinggi adalah orang DKI dibandingkan non-DKI. 62,5 persen dibandikan 37,5 persen,” kata Ketua PDSKJI Jakarta dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ di @america, Jakarta Selatan, Sabtu (12/8/2017).
Nova mengatakan, sebelum putaran pertama, kecemasan partisipan terhadap kedua pasangan calon gubernur berkisar 50 persen.
Menariknya, kecemasan paling tinggi, sebesar 60,4 persen ditunjukkan oleh partisipan yang tidak memilih (golput). Keadaan serupa juga terjadi menjelang putaran kedua.
Meski demikian, kecemasan tidak dialami oleh empat partisipan yang berasal dari partai politik. Hanya masyarakat awam yang cemas dalam pemilihan pemimpin Jakarta hingga 2022.
Internet membuat masyarakat relatif bisa mengakses informasi dari berbagai sumber. Arus informasi pun menjadi lebih deras. Di sisi lain, pada Pilkada 2017 hal itu menambah kadar kecemasan.
Partisipan yang aktif mencari informasi di media sosial dan yang tidak aktif, mengalami kemasan yang tak jauh berbeda, 57,4 persen dan 56,4 persen.
“Media sosial kita, tidak kita cari pasti sampai (informasinya) sehingga akhirnya mencari atau tidak mencari kecemasannya sama,” ujar Nova.
Saat ditanya topik yang menyebabkan kecemasan, partisipan menjawab topik penistaan agama dibandingkan tiga topik lainnya, yaitu berita palsu atau hoax, ras, dan lainnya.
“Yang paling ada di atas pikiran partisipan adalah isu ujaran kebencian. Tapi topik yang paling menimbulkan kecemasan adalah masalah ras 85,7 persen,” ucap Nova.
Selain itu, konflik horizontal pun terjadi. Selama masa Pilkada Jakarta 2017, tak jarang terdengar putusnya relasi pertemanan setelah debat menjagokan salah satu pasangan calon.
Berdasarkan hasil survei, kecemasan partisipan yang kehilangan teman maupun tidak hampir sama. 51 orang kehilangan teman dengan kecemasan 66,7 persen.
“Kami temukan kecemasan ini karena media sosial yang begitu kuat dalam sendi-sendi kehidupan. Begitu mudah mengakses. Sedangkan tidak semua orang terbentuk sebagai politisi. Politisi sudah biasa menghadapi itu. Orang parpol di survey tidak mengalami kecemasan. Tapi orang non-parpol saat mereka terpapat politik dengan gamblang ada kecemasan yang muncul,” kata Nova.
https://sains.kompas.com/read/2017/08/13/190225623/media-sosial-ternyata-justru-memicu-kecemasan