Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Disentil Wapres soal Garam, BPPT Beri Tanggapan

Sentilan diungkapkan dalam konteks polemik impor garam dan ketidakmampuan Indonesia memenuhi kebutuhan dalam negeri.

"Apa gunanya kita punya banyak universitas dan lembaga penelitian," kata Kalla dalam pembukaan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, Kamis (10/8/2017).

"Ayolah para insinyur bangkit demi menyelamatkan bangsa," imbuhnya pada acara yang diadakan di Makassar tersebut.

Kalla mengungkapkan, lembaga seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) seharusnya bisa membantu bangsa mandiri garam.

Menanggapi sentilan itu, Kepala BPPT Unggul Priyanto mengatakan, BPPT sebenarnya sudah mengembangkan teknologi produksi garam sejak tahun 2009.

Ia mengatakan, dengan teknologi BPPT, air laut dialirkan ke reservoir dan diproses lebih baik sehingga bisa menghasilkan garam dalam waktu 4 hari.

Selama ini, petambak garam memproduksi dengan cara tradional, memasukkan air laut di lahan kecil, menunggu dua minggu untuk mendapatkan garam.

Cara tersebut selain menghasilkan garam dengan kualitas rendah juga rentan terganggu pasang surut dan hujan.

Namun begitu, Unggul mengatakan bahwa ketidakmampuan Indonesia memenuhi kebutuhan garam bukan soal keterbatasan teknologi semata.

Untuk bisa memenuhi kebutuhan garam nasional, Unggul mengutarakan perlunya revitalisasi dalam produksi dan distribusi.

"Perlu kumpulkan petambak dengan lahan-lahan kecil. Nanti dijadikan satu. Ditangani dengan bentuk perusahaan. Untungnya nanti dibagi-bagi," katanya menjelaskan.

Dengan cara itu, pembinaan bia dilakukan lebih mudah. BPPT telah melakukan pembinaan pada beberapa petambak garam namun hasil belum maksimal.

"Di situ nanti kita kerja keroyokan. Industrinya ada PT sendiri. Pemda-nya berperan. BPPT berperan sebagai konsultan nanti," ungkap Unggul.

Per kelompok petani, industri yang menangani bisa menargetkan produksi sebesar 5.000 - 50.000 ton per tahun.

Untuk awal program, bisa dilakukan ekstensifikasi produksi garam di wilayah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.

Unggul mengatakan, langkah itu diperlukan karena "Masalahnya sekarang, garam dari petambak itu produktivitasnya rendah dan kualitasnya juga rendah."

Kebutuhan garam Indonesia sekitar 3,8 juta ton per tahun sementara sekarang hanya bisa memenuhi 2 juta ton saja.


https://sains.kompas.com/read/2017/08/10/160628423/disentil-wapres-soal-garam-bppt-beri-tanggapan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke