Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tidak Punya Tanah untuk Bertanam? Plastik pun Jadi

JAKARTA, KOMPAS.com –- Berjuta-juta plastik terus diproduksi oleh masyarakat dunia. Penggunaannya pun sembarangan hingga tersebar di lautan dan tanah. Padahal, perlu ratusan tahun agar plastik dapat terdekomposisi sepenuhnya.

Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan di jurnal Science Advance, sejak 1950 terhitung sebanyak 9 miliar ton plastik telah diproduksi. Kondisi itu memberikan ide bagi para siswi Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Bogor, Annisa Alya Salsabila, Fachriah Rachmawati, dan Tasya Sabila Bisyir, yang dibimbing oleh Puji Heru.

Ketiganya meneliti kemampuan plastik sebagai media tanam pengganti tanah. “Kami melihat banyak masalah di plastik. Penyu makan plastik. Jadi kami mau memanfaatkan bagaimana caranya agar plastik tidak berbahaya bagi lingkungan,” kata Annisa dalam acara L’oreal Science Fair 2017 di kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Selasa (26/7/2017).

Pada mulanya, plastik dibentuk menjadi bulatan dengan kepadatan sedang. Bagian plastik yang terbuka kemudian dibakar agar bentuk plastik tetap bulat.

Berbeda dari tanah, plastik tidak dapat memberikan nutrisi bagi tanaman. Untuk itu, plastik dicampur dengan pupuk organik cair. Takarannya, satu liter air dibubuhi tiga tetes pupuk organik cair.

Plastik kemudian diremas di dalam larutan pupuk dan pergantian tempat terjadi, udara yang dikeluarkan dari plastik digantikan oleh larutan pupuk.

Fachriah mengatakan, percobaannya mengunakan empat jenis plastik, yakni plastik hitam, plastik bening yang biasa digunakan untuk makanan, plastik berwarna, dan plastik putih.

Lalu, menggunakan tanaman kuping gajah yang sudah tumbuh sedikit terlebih dulu, ketiga siswi dari SMAN 1 Bogor kemudian mengamati perbedaan dari keempat media tanam tersebut.

Walaupun sama-sama diberikan intensitas penyinaran matahari yang sama, ternyata intensitas air yang digunakan pada media tanam plastik lebih hemat daripada tanah. Plastik yang menjadi media tanam hanya memerlukan penyiraman dua hari sekali, sedangkan pada tanah, air harus diberikan setiap hari.

Setelah tiga bulan, terdapat perbedaan pertumbuhan tanaman kuping gajah pada masing-masing media tanam.

Pada plastik bening, daun kuping gajah tumbuh lebih banyak, tetapi batangnya lebih pendek. Sementara itu, plastik putih membuat daun menjadi lebih sedikit, meski batangnya lebih tinggi. Mereka juga mendapati bahwa daun pada plastik putih lebih lebar dan pertumbuhan paling lambat terjadi pada plastik hitam.

“Kemungkinan pengaruhnya pada warna. Plastik hitam kan hasil daur ulang berkali-kali dari plastik,” kata Fachriah.

Namun, penelitian mereka belum sampai pada tahap melihat peran plastik terhadap perkembangan kuping gajah, ujar Tasya. Berdasarkan konsultasi dengan peneliti di Laboratorium Fitokimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonessia (LIPI) di Cibinong, sulit untuk mengetahui penyerapan polymer pada tumbuhan.

“Meneliti penyerapan polymer pada tanaman itu belum ada dan agak sulit. Jadi, sementara ini masih dugaan. Bakal beda-beda tiap tanaman, perlu uji coba lebih banyak,” katanya.

Menurut hasil penelitiannya, Tasya berkata bahwa tanaman ikut membantu dekomposisi plastik, meski tak langsung. Hal itu terlihat saat akar tanaman menerobos gumpalan plastik sehingga menjadi lebih kecil.

https://sains.kompas.com/read/2017/07/27/081100223/tidak-punya-tanah-untuk-bertanam-plastik-pun-jadi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke