KOMPAS.com -- Peneliti Universitas Stanford, Amerika Serikat, menunjukkan data bahwa Singapura lebih baik ketimbang Indonesia dalam hal berjalan kaki.
Merujuk data dari 700.000 orang yang menggunakan aplikasi pemantau aktivitas pada telepon seluler mereka, salah seorang peneliti mengatakan pola aktivitas orang-orang Indonesia amat berbeda dengan publik Singapura.
Dalam daftar penduduk paling rajin berjalan kaki, Singapura menempati peringkat sembilan di antara 46 negara dengan mencatat rata-rata 5.674 langkah per hari. Adapun Indonesia menduduki posisi paling buncit dengan mencatat 3.513 langkah per hari.
Hanya tiga tingkat di atas Indonesia adalah Filipina yang mencatat 4.008 langkah per hari. Malaysia berada di bawahnya dengan membukukan 3.963 langkah per hari.
"Malaysia, Filipina, Indonesia cukup mirip dalam hal pola aktivitas. Namun, jika Anda melihat Singapura yang lebih urban, polanya berbeda," kata Tim Althoff, salah satu anggota kelompok peneliti Universitas Stanford, kepada BBC Indonesia.
Jumlah langkah penduduk
1. Hong Kong 6.880
2. Cina 6.189
3. Ukraina 6.107
4. Jepang 6.010
5. Rusia 5.969
9. Singapura 5.674
43. Filipina 4.008
44. Malaysia 3.963
45. Arab Saudi 3.807
46. Indonesia 3.513
Selain jumlah langkah, Tim Althoff juga memperlihatkan data bahwa kesenjangan aktivitas publik Singapura lebih sempit ketimbang Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Artinya, menurut Althoff, orang-orang Singapura jauh lebih sering bergerak.
"Untuk meneliti fenomena jarang bergerak, kami mencatat jumlah langkah masyarakat setiap negara dan mengubahnya menjadi grafik. Kadangkala grafik-grafik ini melebar, artinya ada kesenjangan aktivitas pada populasi antara mereka yang aktif dan yang kurang aktif," papar Althoff.
"Orang-orang di Singapura mencatat aktivitas fisik lebih tinggi dan kesenjangannya cukup sempit," lanjutnya.
Masalah obesitas
Bagaimana dengan Indonesia?
Menurut Althoff, Indonesia menempati posisi menengah dalam daftar kesenjangan aktivitas.
Apa maknanya? Para peneliti menemukan semakin besar kesenjangan di suatu negara, semakin besar pula taraf obesitasnya. Indonesia berada pada peringkat 17 dalam daftar penduduk obesitas.
Temuan itu mencerminkan kondisi di lapangan. Data Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) tahun 2016 menunjukkan penduduk dewasa berusia diatas 18 tahun yang mengalami kegemukan atau obesitas mencapai 20,7% atau lebih dari 40 juta orang.
Angka itu menunjukkan peningkatan pesat dari tahun 2013 ketika penduduk yang kegemukan mencapai 15,4%.
"Dulu di Indonesia penyakit utama adalah penyakit infeksi yang menular, TBC misalnya. Sekarang ini kan berubah trennya," kata dokter ahli Fisiologi Olahraga, Ermita Ibrahim Ilyas.
"Yang banyak itu adalah orang-orang yang gemuk, orang-orang yang tidak bergerak banyak. Sehingga penyakit-penyakitnya sama dengan orang-orang di negara maju akibat kurang olahraga, makan berlebihan, makan tidak sehat. Itu kan meningkat," tambahnya.
Data penelitian bahwa Indonesia berada di bawah Singapura perihal berjalan kaki tidak mengherankan bagi dokter Ermita. Menurutnya, kondisi infrastruktur di Indonesia adalah salah satu penyebab publik tidak berjalan kaki banyak.
"Kita mau jalan di mana? Jalan tidak rata, ada lubang. Malah keseleo kalau kita injak. Kalau di Singapura, kita kan harus berjalan kaki. Itu fasilitas semua kan tersedia. Lingkungan kita yang tidak menopang," kata dokter Ermita.
Masalah infrastruktur
Penyebab mengapa publik Singapura berjalan kaki lebih banyak ketimbang publik Indonesia, Filipina, dan Malaysia juga menjadi sorotan penelitian Universitas Stanford.
Menurut Tim Althoff, penelitian mereka menunjukkan bahwa penduduk kota-kota yang memiliki trotoar lebih baik mencatat jumlah langkah lebih banyak ketimbang kota yang trotoar dan infrastrukturnya tidak menyokong pejalan kaki.
"Anda bisa melihat di Singapura bahwa lingkungannya berbeda," kata Althoff.
"Dari semua kelompok masyarakat, kami melihat bahwa jika Anda punya infrastruktur lebih baik, jika Anda bisa berjalan kaki dengan nyaman, masyarakat akan mendapat hasil positif, mereka akan berjalan lebih banyak. Dan mengurangi kesenjangan fisik," imbuhnya.
Althoff menambahkan bahwa dia dan rekan-rekannya kini tengah mengerjakan kajian lanjutan yang berfokus pada korelasi antara aktivitas fisik dan migrasi masyarakat.
Dari kajian awal itu mereka menemukan bahwa orang yang jarang melangkah di kota yang trotoarnya tidak tertata rapi, jumlah langkahnya meningkat pesat begitu pindah ke kota dengan infrastruktur mumpuni.
"Ada banyak orang yang tidak begitu aktif. Saya yakin orang Indonesia adalah pekerja keras, tapi ini adalah masalah yang melanda seluruh masyarakat bukanlah sekedar masalah individu."
Artikel ini sudah pernah tayang sebelumnya di BBC Indonesia dengan judul: Kegemukan dan minimnya tingkat jalan kaki orang Indonesia
https://sains.kompas.com/read/2017/07/25/090700623/dilema-jalan-kaki-di-indonesia-dan-dampaknya-pada-kesehatan