KOMPAS.com – Buat Anda yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup, kelestarian flora dan fauna seharusnya juga termasuk dalam hal yang perlu diperhatikan. Salah satu jenis fauna yang belakangan ini kondisinya semakin memprihatinkan yaitu orangutan.
Setiap tahun, populasinya makin tergerus sehingga hidup mereka terancam dan terdesak untuk pindah ke wilayah lain. Ada dua penyebab utama berkurangnya populasi mereka, yang pertama yaitu perusakan habitat karena konversi hutan, dan yang kedua karena perburuan ilegal.
Pada pertengahan 2016, International Union for Conservation of Nature (IUCN), lembaga internasional yang bergerak di bidang konservasi lingkungan hidup, melansir data mengenai menurunnya populasi orangutan.
Sebagai contoh, menurut IUCN, populasi orangutan di Kalimantan berkurang lebih dari 60 persen pada tahun 1950 hingga 2010, dan diperkirakan terus berkurang sampai 22 persen pada 2010 hingga 2025.
Artinya, secara total terjadi pengurangan populasi orangutan lebih dari 82 persen dalam 75 tahun, yaitu sejak 1950 sampai 2025. Hal itu membuat IUCN mengubah status populasi orangutan dari Endangered naik menjadi Critically Endangered, yaitu level kritis yang merupakan tingkat paling parah.
Situasi itu pun tergambar dalam pemberitaan di media massa. Harian Kompas (Kamis, 16/2/2017) mewartakan, kepolisian menetapkan 10 pekerja dari suatu perusahaan perkebunan kelapa sawit menjadi tersangka atas kasus pembunuhan seekor orangutan di Kapuas, Kalimantan Tengah.
Kabar soal ancaman terhadap populasi orangutan seperti ini sudah bertahun-tahun kita dengar, lalu kenapa masih terus terjadi?
Salah satu penyebab terancamnya habitat orangutan adalah perubahan lahan hutan menjadi kebun, di antaranya menjadi kebun kelapa sawit. Istilahnya dikenal sebagai konversi lahan, seperti yang sudah disebut sebelumnya.
Legitnya industri sawit membuat para petani dan perusahaan perkebunan berlomba-lomba membuka lahan baru.
Mau tidak mau, hutan yang tadinya merupakan tempat hidup orangutan harus digusur menjadi kebun sawit yang bernilai komersial.
Namun, sebenarnya hal itu bisa dihindari jika para pelaku industri sawit itu bisa menahan “nafsu” dan mengikuti aturan yang ada.
Mencoba menyelisik sebab akibatnya, Kompas.com menggali informasi dari salah satu lembaga independen yang peduli terhadap orangutan, yaitu Borneo Orangutan Survival Foundation (Yayasan BOS). Yayasan ini berfokus untuk menyelamatkan populasi orangutan hanya di wilayah Kalimantan.
Chief Executive Officer Yayasan BOS Jamartin Sihite mengatakan, orangutan merupakan representasi semua satwa liar, makanya disebut sebagai spesies payung. Kalau orangutan terjaga, menurut dia, berarti spesies lain di bawahnya juga ikut terjaga.
“Orangutan mempunyai teritori sendiri. Aslinya, tempat hidup mereka itu di hutan yang berada di bawah 700 meter di atas permukaan laut,” ujar Jamartin, Senin (10/4/2017) di kantor Yayasan BOS di pusat Kota Bogor.
Jadi, selain mengurangi luas hutan, konversi hutan juga membuat orangutan terusir dari habitatnya.
Menurut Jamartin, total populasi orangutan saat ini ada sekitar 200 ekor di Kalimantan Timur dan hampir 500 ekor di Kalimantan Tengah.
Semuanya itu ada di pusat rehabilitasi milik Yayasan BOS, yaitu di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, dan di Samboja Lestari, Kalimantan Timur.
Kelak, orangutan itu akan dikembalikan ke hutan jika kondisinya sudah siap, baik fisik maupun mental.
“90 persen orangutan yang ada di pusat rehabilitasi itu akibat konversi hutan. Paling banyak konversi dari hutan menjadi kebun sawit dan lokasi tambang batubara,” kata Jamartin.
Keanggotaan RSPO
Masalahnya sekarang, perusahaan butuh lahan untuk memutar roda bisnisnya. Di lain pihak, orangutan juga butuh wilayah untuk tempat tinggalnya. Masing-masing pihak mempunyai kepentingan, lalu bagaimana penyelesaiannya?
Untuk memecahkan masalah itu, Yayasan BOS menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, di antaranya RSPO sebagai salah satu lembaga yang juga menaruh kepedulian terhadap lingkungan.
RSPO yang memiliki kepanjangan Roundtable on Sustainable Palm Oil merupakan organisasi nirlaba yang menaungi semua pelaku industri kelapa sawit, mulai dari petani, perusahaan pengolah dan penjual barang yang berbahan sawit, institusi keuangan, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Sepak terjang para pihak yang terlibat dalam industri sawit itu juga diawasi oleh RSPO dan beragam masalah yang mereka hadapi berusaha untuk dicarikan solusi.
Salah satu masalah dalam industri sawit yaitu konversi hutan oleh perusahaan perkebunan sawit. Hal ini cukup penting karena menyangkut kelestarian alam dan ekosistem di dalamnya.
Secara bersamaan, kelestarian ini sejalan dengan prinsip kerja RSPO, yaitu berkelanjutan. Artinya, eksplorasi terhadap alam beserta isinya harus diawasi agar tetap terjaga dan terhindar dari kepunahan.
Dalam hal ini, perusahaan perkebunan sawit yang membuka lahan baru harus memperhatikan hutan dan para penghuninya, termasuk orangutan, agar tetap lestari.
Bagaimana caranya?
Jamartin mengatakan, perusahaan sawit anggota RSPO harus menyisihkan lahan atau membeli lahan baru untuk mengungsikan orangutan dan satwa langka, lalu menjadikan lahan itu sebagai kawasan konservasi.
“Produksi sawit belum maksimal, perusahaan tidak harus membuka hutan. Misalnya kalau perusahaan telanjur menebang hutan 100 hektar untuk sawit, harusnya buka 100 hektar lagi di tempat lain di kabupaten atau provinsi yang sama,” ucap Jamartin.
Menurut dia, luas ideal kawasan konservasi orangutan minimal 1.000 hektar. Baru-baru ini Yayasan BOS membeli 700 hektar hutan di Kalimantan Tengah, bermitra dengan perusahaan sawit yang membeli 1.400 hektar hutan untuk pra-pelepasliaran orangutan. Jadi ada 2.100 hektar hutan yang dikelola bersama.
Namun, tidak semua perusahaan anggota RSPO bisa melakukan hal seperti itu. Selain kesanggupan, kemauan juga menentukan. Artinya, niat si anggota untuk peduli terhadap lingkungan, yang salah satunya dibuktikan dengan memperhatikan kelestarian hutan dan makhluk hidup yang ada di dalamnya.
Dalam perjalanannya, keanggotaan RSPO semakin berkembang. Para anggota tersebut berusaha menjalankan bisnisnya sesuai jalur yang ditentukan dan khawatir keanggotaannya dicoret bila melanggar aturan.
Sebagai contoh, Jamartin menggambarkan, kalau perusahaan X sebagai penjual sawit melanggar aturan, misalnya membunuh orangutan atau harimau, perusahaan Y sebagai pembeli produk sawit itu bisa mengancam dengan tidak mau membeli sawit lagi dari perusahaan X.
Perusahaan X harus menyelesaikan dulu masalah itu baru transaksi berikutnya dengan perusahaan Y bisa dilakukan. Demikianlah RSPO sekarang, sistemnya terus berkembang.
Sistem yang sudah ada itu mendorong anggota agar menjadi bagian dari solusi. Kini, para anggotanya diharapkan bukan cuma mengikuti standar minimal, melainkan memaksimalkan standar yang sudah disepakati bersama.
Semuanya itu demi tujuan bersama, yaitu roda bisnis sawit bisa terus berputar, tetapi kelestarian orangutan tetap terjaga.
https://sains.kompas.com/read/2017/06/20/052100123/orangutan-terus-jadi-korban-pebisnis-sawit-wajib-taat-aturan