Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Puasa di Negara yang Mataharinya Tidak Pernah Terbenam

Kompas.com - 27/05/2017, 19:03 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com -- Umat Islam di Indonesia wajib bersyukur. Di bulan suci yang mengharuskan semua umat Islam berpuasa ketika matahari terlihat di langit, penganut agama Islam di Indonesia hanya perlu menahan lapar dan haus selama 13 hingga 14 jam.

Namun, bagaimana dengan umat Islam di Finlandia dan Swedia? Terletak di lingkaran Arktik, negara-negara ini diselimuti dengan kegelapan total di musim dingin dan selalu terang di musim panas.

(Baca juga: Awal Puasa dan Lebaran 2017 Akan Seragam karena Bulan "Berbaik Hati")

Di Finlandia, satu keluarga yang berasal dari Bangladesh menuturkan bagaimana mereka berpuasa di negara yang mataharinya hanya terbenam selama 55 menit.

Puasa dimulai pada pukul 1.35 pagi dan selesai pada pukul 00:48 pagi. Jadi puasa berlangsung selama 23 jam dan lima menit. Teman-teman dan keluarga kami di Bangladesh tidak percaya bahwa kita bisa berpuasa selama lebih dari 20 jam,” ujarnya, seperti yang dikutip dari Independent 26 Mei 2017.

Namun, tentunya berpuasa lebih dari 18 jam sangat berat untuk dilakukan. Dr Badul Mannan, Imam lokal dan presiden Islam Society of Northern Finland, berkata bahwa ada dua pemikiran mengenai puasa di negara yang harinya lebih dari 18 jam.

Dilansir dari BBC 18 Agustus 2012, Dr Mannan mengatakan, cendekiawan Mesir berkata bahwa jika satu hari begitu panjang atau lebih dari 18 jam, maka Anda bisa mengikuti waktu di Mekkah atau Madinah, atau negara Muslim terdekat.

Pemikiran inilah yang paling umum diikuti oleh mayoritas umat Muslim di Finlandia. Mereka mengikuti jam berpuasa di Mekkah atau Turki yang dekat dengan Finlandia.

(Baca juga: Mengapa Puasa Malah Bikin Anda Tambah Gendut?)

Akan tetapi, pendapat cendekiawan Saudi berkebalikan dengan pemikiran ini. Menurut mereka, bagimana pun harinya, baik panjang atau pendek, Anda harus mengikuti waktu lokal.

Perbedaan pendapat ini menjadi dilema bagi Nafisa Yeasmin, seorang peneliti di University of Lapland yang pindah dari Dhaka, Bangladesh ke Lapland, Swedia pada tahun 2006.

“Sangat sulit bagiku untuk mengikuti jam puasa di sini karena aku sudah terbiasa dengan 12 jam siang dan 12 jam malam di Bangladesh. Aku sempat berpikir untuk mengikuti jam Mekkah, tetapi aku khawatir bila puasaku akan diterima Allah atau tidak,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com