Melogika Eutanasia, Indonesia Melarang, Kok Belgia Melegalkannya?

Kompas.com - 07/05/2017, 15:44 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com - Eutanasia kembali ramai diperbincangkan setelah seorang laki-laki dari Banda Aceh mengajukan permohonan untuk disuntik mati ke Pengadilan Negeri Banda Aceh.

Berlin Silalahi, laki-laki itu, mengalami radang tulang dan menjadi lumpuh sejak tahun 2014. Ia lelah dan putus asa karena penyakitnya yang tak kunjung sembuh. Istri Berlin rela jika suaminya disuntik mati.

Baca: Suami yang Ajukan Suntik Mati: Saya Sudah Tak Tahan Lagi

Kasus Berlin sebenarnya bukan yang pertama kalinya di Indonesia. Tahun 2014, misalnya, Ignatius Ryan Tumiwa mengajukan permohonan untuk disuntik mati ke Mahkamah Konsitusi (MK).

Walaupun permohonan tersebut akhirnya dicabut, kriminolog dari Universitas Indonesia, Kisnu Widagso ragu MK akan mengabulkannya.

Kisnu mengatakan, "suku mana di Indonesia yang membolehkan bunuh diri? Lalu, agama mana di Indonesia yang membolehkan bunuh diri? Hampir tidak ada kan."

Pandangan di Indonesia berkebalikan dengan Belgia dan sejumlah negara lain. Di sana, eutanasia dianggap sebagai simbol pencerahan dan kemajuan, bahwa negara itu telah lepas dari Katolik yang banyak mengatur.

Salah satu yang mendorong legalisasi eutanasia di Belgia adalah perubahan komposisi pemegang kekuasaan politik dari yang sebelumnya demokrat Kristen menjadi yang lebih sekuler.

Baca Juga: Wawancara Pertama dengan Seorang Lelaki "Mati"

Alasan Legalisasi Eutanasia

Wim Distelmans, seorang onkologis dan profesor pengobatan paliatif di Free University of Brussels adalah salah satu tokoh yang mendorong legalisasi eutanasia di Belgia.

Ia mengatakan, pekerjaannya terinspirasi oleh penolakan terhadap segala bentuk paternalisme (membatasi otonomi orang lain demi kebaikan orang tersebut).

Diwawancarai oleh Rachel Aviv untuk The New Yorker pada Juni 2015, Distelmans mengatakan, "siapakah aku untuk meyakinkan pasienku bahwa mereka perlu menderita lebih lama dari yang diinginkan."

Untuk Distelmans dan politikus sekuler Belgia, hak untuk meninggal secara terhormat merupakan pencapaian bagi humanisme sekuler, satu dari tujuh sistem kepercayaan yang diakui oleh pemerintah Belgia.

Walaupun demikian, eutanasia tidak bisa dilakukan semena-mena. Dewan menteri Belgia mengangkat Distelmans sebagai ketua Federal Control and Evaluation Commition. Tugasnya memastikan tiap eutanasia mengikuti hukum.

Ketika pasien yang ditangani memiliki penyakit parah, dua dokter harus memastikan bahwa keinginan dan penderitaan pasien memang datang dari penyakit yang tidak disembuhkan.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau