Artikel ini diterjemahkan dari artikel majalah New Scientist berjudul First Interview with a Dead Man, ditulis Helen Thomson dan dipublikasikan secara online pada Kamis (23/5/2013) lalu. Artikel dimuat dalam kolom Mindscape, kolom unik tentang ilmu otak yang membahas pengalaman orang dengan kondisi neurologi yang paling misterius.
Artikel ini membahas tentang seorang lelaki, sebut saja bernama Graham. Ia mengalami sindrom Cotard. Ia hidup, tetapi merasa dirinya mati.
KOMPAS.com — "Ketika saya di rumah sakit, saya mengatakan kepada mereka bahwa tablet yang mereka berikan tidak akan membuat kondisi saya menjadi baik karena otak saya mati. Saya kehilangan kepekaan pada bau dan rasa. Saya merasa tak perlu untuk makan, bicara, atau apa pun. Saya akhirnya cuma menghabiskan waktu di pemakaman karena di sanalah tempat terdekat saya bisa mati."
Sembilan tahun lalu, Graham bangun dari tidur dan merasa dirinya mati.
Graham saat itu mengalami sindrom Cotard. Orang dengan kondisi langka ini percaya bahwa dirinya atau bagian dari tubuhnya tak eksis lagi.
Bagi Graham, bagian yang tak eksis lagi itu adalah otak, dan ia percaya bahwa ia telah membunuhnya. Sengsara oleh perasaan tertekan, ia telah mencoba bunuh diri dengan membawa peralatan elektronik untuk mandi.
Delapan bulan setelah bangun dari tidur itu, Graham mengatakan kepada dokternya bahwa otaknya telah mati, atau lebih tepatnya hilang. "Ini benar-benar sulit untuk dijelaskan," katanya. "Saya seperti merasa bahwa otak saya tidak ada lagi. Saya terus mengatakan kepada dokter bahwa tablet tidak akan memberi pengaruh baik karena saya tak punya otak. Saya akan menggorengnya di kamar mandi."
Dokter menemukan bahwa mencoba bicara secara rasional dengan Graham tidak mungkin. Walaupun dia bicara, bernapas, dan hidup, dia tak bisa menerima kondisi bahwa otaknya masih hidup. "Saya merasa terganggu. Saya tak tahu bagaimana saya bisa bicara atau melakukan apa pun tanpa otak, tetapi selama saya merasa menaruh perhatian, saya bisa melakukannya."
Merasa bingung, dokter yang awalnya menangani Graham pun mengirimkannya ke seorang ahli neurologi, Adam Zerman, di University of Exeter, Inggris, dan Steven Laureys di University of Liege, Belgia.
"Ini pertama kali dan satu-satunya kesempatan di mana sekretaris saya mengatakan, 'Sangat penting bagi Anda untuk datang dan bicara dengan pasien ini karena ia mengatakan bahwa dirinya telah mati," kata Laureys.
Antara hidup dan mati
"Dia benar-benar pasien yang tak biasa," kata Zeman. Menurut Zeman, Graham percaya bahwa ia "ada dalam sebuah metafora tentang apa yang dia rasakan tentang dunia, bahwa pengalamannya tak lagi menggerakkannya. Ia merasa berada dalam kondisi antara hidup dan mati."
Tak ada yang tahu seberapa umum sindrom Cotard. Sebuah studi yang dipublikasikan pada tahun 1995 dan merupakan hasil penelitian pada 349 pasien lansia di Hongkong menemukan dua orang yang diduga mengalami sindrom Cotard. Namun demikian, dengan perawatan segera untuk mengatasi depresi—kondisi di mana sindrom Cotard muncul—yang telah tersedia, ilmuwan menduga bahwa sindrom Cotard saat ini sangat langka. Akademisi yang meneliti sindrom ini biasanya hanya fokus pada satu kasus khusus seperti pada Graham.
Beberapa orang yang mengalami sindrom Cotard dilaporkan mati kelaparan karena percaya bahwa dirinya tak perlu lagi makan. Beberapa yang lain mencoba membersihkan dirinya dengan zat asam yang dipercaya bisa membebaskan dirinya dari kondisi sebagai orang mati yang berjalan.
Dalam kasus Graham, saudara laki-laki dan perawatnya harus memastikan bahwa ia makan. "Saya kehilangan indera perasa dan pembau saya. Tak ada gunanya makan karena saya telah mati. Bicara hanya membuang waktu karena saya tak punya sesuatu untuk dibicarakan. Saya bahkan tak punya pemikiran apa pun. Semuanya tak bermakna," urai Graham.