KOMPAS.com - Tepat 75 tahun lalu, pasangan suami istri Frank dan Isobel Hawking memiliki putera pertama. Lahir 8 Januari 1942, tepat 300 tahun setelah kematian Galileo, putera bernama Stephen Hawking tersebut kelak menjadi fisikawan paling berpengaruh di abad 20.
Bukan hanya konsep lubang hitam, gelombang gravitasi, dan big bang yang membuat Hawking berpengaruh, tetapi juga hidupnya sebagai penderita Amythropic Lateral Schlerosis (ALS), penganut ateisme, dan semangatnya dalam komunikasi sains.
Hawking dan hidupnya menyediakan pelajaran berharga bagi kita. Apa saja?
Jangan Menyerah
Sebagai penderita ALS, Hawking fenomenal. Saat didiagnosis ALS pada usia 21 tahun, Hawking divonis hanya mampu bertahan 2 tahun. Namun ternyata Hawking bukan hanya bisa hidup hingga sekarang tetapi juga menghasilkan karya yang berdampak besar.
Dalam buku autobiografi singkat "Stephen Hawking: My Brief History", ia mengungkapkan bahwa ia tak langsung bisa menerima penyakitnya. Awalnya, ia merasa merasa bosan dengan hidupnya, merasa tak ada hal berguna yang bisa dia lakukan.
Sebuah pengalaman di rumah sakit lantas mengubahnya. "Saya melihat seorang anak laki-laki di ranjang sebelah mati karena leukemia. Itu bukan pengalaman yang baik. Jelas ada orang yang kondisinya lebih buruk dari saya. Kapan pun saya merasa tidak berharga, saya selalu mengingat anak laki-laki itu."
"Segera setelah saya keluar dari rumah sakit, saya merasa seperti akan dieksekusi. Saya lalu menyadari bahwa banyak hal berharga yang bisa dilakukan jika saya tangguh. Saya juga bermimpi mengorbankan hidup untuk orang lain. Jika saja saya mati setelahnya, setidaknya saya melakukan hal baik," tulisnya.
Hawking lantas mengabdikan hidupnya di bidang fisika teoretis. Ia melahirkan gagasan baru, diantaranya tentang lubang hitam. Menurutnya, lubang hitam tidak menyerap semua informasi. Ada radiasi yang luput, yang kemudian disebut radiasi Hawking.
Karya terakhirnya The Grand Design mengungkap pandangan tentang asal-usul alam semesta. Menurut Hawking, alam semesta dan kehidupan tercipta secara spontan, serta merta karena ada peluang untuk itu. Alam semesta tidak membutuhkan sang pencipta.
Epilog buku yang diberi judul "No Boundaries" mengungkap refleksi Hawking tentang hidupnya. Ia tak merasa penyakitnya merenggut hidupnya. "Dalam beberapa hal, itu adalah aset. Saya tak harus mengajar mahasiswa S-1, saya tak harus duduk lama di komite. Saya bisa mengabdikan hidup saya sepenuhnya untuk riset," ungkapnya.
"Saya punya hidup yang memuaskan. Saya percaya orang dengan keterbatasan seharusnya berkonsentrasi melakukan yang tetap bisa dikerjakan dengan kursi roda dan tidak menyesali hal lain yang tidak bisa dilakukan," katanya. Dalam bahasa religius, hidup Hawking mengajarkan untuk bersyukur dan pantang menyerah.
Terbuka dan Tetap Membumi
Hawking memang seorang ateis. Selain mengatakan bahwa alam semesta tidak membutuhkan pencipta, Hawking juga berkata, "Saya pikir kehidupan setelah mati secara konvensional adalah dongeng untuk orang-orang yang takut pada kegelapan."
Namun, Hawking tetap terbuka untuk berkolaborasi dengan kalangan agamawan. November 2016 lalu, Hawking pergi ke konferensi sains di Vatikan, bertemu Paus Fransiskus. Bersama gereja, Hawking mengingatkan tentang ancaman perubahan iklim.