Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

75 Tahun Stephen Hawking, Pelajaran Hidup dari Fisikawan Kelas Dunia

Kompas.com - 08/01/2017, 18:40 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Tepat 75 tahun lalu, pasangan suami istri Frank dan Isobel Hawking memiliki putera pertama. Lahir 8 Januari 1942, tepat 300 tahun setelah kematian Galileo, putera bernama Stephen Hawking tersebut kelak menjadi fisikawan paling berpengaruh di abad 20.

Bukan hanya konsep lubang hitam, gelombang gravitasi, dan big bang yang membuat Hawking berpengaruh, tetapi juga hidupnya sebagai penderita Amythropic Lateral Schlerosis (ALS), penganut ateisme, dan semangatnya dalam komunikasi sains.

Hawking dan hidupnya menyediakan pelajaran berharga bagi kita. Apa saja?

Jangan Menyerah

Sebagai penderita ALS, Hawking fenomenal. Saat didiagnosis ALS pada usia 21 tahun, Hawking divonis hanya mampu bertahan 2 tahun. Namun ternyata Hawking bukan hanya bisa hidup hingga sekarang tetapi juga menghasilkan karya yang berdampak besar.

Dalam buku autobiografi singkat "Stephen Hawking: My Brief History", ia mengungkapkan bahwa ia tak langsung bisa menerima penyakitnya. Awalnya, ia merasa merasa bosan dengan hidupnya, merasa tak ada hal berguna yang bisa dia lakukan.

Sebuah pengalaman di rumah sakit lantas mengubahnya. "Saya melihat seorang anak laki-laki di ranjang sebelah mati karena leukemia. Itu bukan pengalaman yang baik. Jelas ada orang yang kondisinya lebih buruk dari saya. Kapan pun saya merasa tidak berharga, saya selalu mengingat anak laki-laki itu."

"Segera setelah saya keluar dari rumah sakit, saya merasa seperti akan dieksekusi. Saya lalu menyadari bahwa banyak hal berharga yang bisa dilakukan jika saya tangguh. Saya juga bermimpi mengorbankan hidup untuk orang lain. Jika saja saya mati setelahnya, setidaknya saya melakukan hal baik," tulisnya.

Hawking lantas mengabdikan hidupnya di bidang fisika teoretis. Ia melahirkan gagasan baru, diantaranya tentang lubang hitam. Menurutnya, lubang hitam tidak menyerap semua informasi. Ada radiasi yang luput, yang kemudian disebut radiasi Hawking.

Karya terakhirnya The Grand Design mengungkap pandangan tentang asal-usul alam semesta. Menurut Hawking, alam semesta dan kehidupan tercipta secara spontan, serta merta karena ada peluang untuk itu. Alam semesta tidak membutuhkan sang pencipta.

Epilog buku yang diberi judul "No Boundaries" mengungkap refleksi Hawking tentang hidupnya. Ia tak merasa penyakitnya merenggut hidupnya. "Dalam beberapa hal, itu adalah aset. Saya tak harus mengajar mahasiswa S-1, saya tak harus duduk lama di komite. Saya bisa mengabdikan hidup saya sepenuhnya untuk riset," ungkapnya.

"Saya punya hidup yang memuaskan. Saya percaya orang dengan keterbatasan seharusnya berkonsentrasi melakukan yang tetap bisa dikerjakan dengan kursi roda dan tidak menyesali hal lain yang tidak bisa dilakukan," katanya. Dalam bahasa religius, hidup Hawking mengajarkan untuk bersyukur dan pantang menyerah.

Terbuka dan Tetap Membumi

Hawking memang seorang ateis. Selain mengatakan bahwa alam semesta tidak membutuhkan pencipta, Hawking juga berkata, "Saya pikir kehidupan setelah mati secara konvensional adalah dongeng untuk orang-orang yang takut pada kegelapan."

Namun, Hawking tetap terbuka untuk berkolaborasi dengan kalangan agamawan. November 2016 lalu, Hawking pergi ke konferensi sains di Vatikan, bertemu Paus Fransiskus. Bersama gereja, Hawking mengingatkan tentang ancaman perubahan iklim.

Sebelumnya, ia juga pernah bertemu dengan Paus Yohanes Paulus II. Ia tetap mengapreasiasi walaupun sang Paus mengatakan, "Boleh saja mempelajari alam semesta dan dari mana asalnya. Tetapi kita seharusnya tidak menanyakan tentang permulaan itu sendiri sebab itu adalah momen penciptaan dan kerja Tuhan."

Dalam sains, Hawking juga terbuka dengan gagasan baru. Sebelum penemuan Higgs Boson pada tahun 2012, Hawking meyakini bahwa partikel yang kerap disebut "partikel tuhan" itu tak akan pernah ditemukan. Namun, saat ilmuwan Organisasi Riset Nuklir Eropa (CERN) menemukannya, Hawking mengapresiasi.

Menggeluti bidang mengawang-awang seperti kosmologi tak lantas membuat Hawking berada di menara gading. Ia juga prihatin dengan masalah kemanusiaan dan berbagi gagasannya. Pada 1 Dese,ber 2016 lalu, Hawking menulis di The Guardian, "Ini adalah Saat Paling Berbahaya bagi Planet Kita".

Dalam tulisan itu, Hawking mengutarakan bahwa dunia selayaknya bersatu untuk mengahadapi tantangan, bukan berkonflik dan menambah tantangan baru. Ia mengkritisi kebijakan Brexit, Donald Trump, pengembangan kecerdasan buatan, dan internet.

Menurutnya, iternet dan kecerdasan buatan memungkinkan sekelompok orang meraup keuntungan dengan mempekerjakan sedikit orang. Hal itu kemajuan tetapi juga merusak. Hal itu akan berdampak pada ketersediaan lapangan kerja, kesenjangan, dan migrasi besar-besaran ke kota.

"Melebihi waktu lain dalam sejarah, spesies kita perlu bekerja sama. Kita menghadapi tantangan lingkungan: perubahan iklim, produksi pangan, kelebihan populasi, kepunahan spesies, penyakit endemik, dan peningkatan keasaman laut," katanya.

"Masalah-masalah itu adalah pengingat bahwa kita berada pada masa paling berbahaya dalam kemanusiaan. Kita punya teknologi untuk menghancurkan planet kita, tetapi belum punya teknologi untuk lari darinya," katanya. "Sekarang kita hanya punya satu planet dan kita perlu bekerjasama untuk menjaganya.

Bagilah Pengetahuan yang Kau Miliki

Hawking bukan hanya ilmuwan yang pintar melahirkan gagasan besar, tetapi juga ilmuwan yang pandai berbagi pengetahuan dan memotivasi generasi muda. Buku ilmiah populernya seperti "A Brief History of Time" dan "The Universe in a Nutshell" adalah sejumlah contoh.

Dalam "My Brief History", Hawking mengatakan, ia ingin mengajak orang memahami perkembangan pemahaman tentang alam semesta. Ia juga mengatakan tak ingin hanya menulis buku yang bagus. "Jika saya menghabiskan waktu dan usaha untuk menulis buku, saya ingin menjangkau sebanyak mungkin orang," ungkapnya.

Proses menulis buku itu tak mudah. Hawking harus merevisi berkali-kali menuruti usulan editornya, Peter Guzzardi. Hawking mengatakan, ia puas dengan hasil edit buku tersebut. Ia puas mampu mengomunikasikan kosmos dengan minim rumus sebab pada dasarnya ia juga tak suka rumus.

Sementara, salah satu keahlian Hawking dalam memotivasi generasi muda ditunjukkan saat hadir dalam bentuk hologram di Sydney Opera House. Ia menjawab pertanyaan gadis remaja yang mungkin terdengar konyol, "Apa dampak kosmologi keluarnya Zayn Malik dari One Direction yang diikuti oleh kekecewaan para gadis di seluruh dunia?"

Hawking tak mengatakan pertanyaan itu bodoh tetapi malah mengajak sang gadis untuk menggeluti fisika untuk mencari tahu jawabannya. "Akhirnya pertanyaan tentang sesuatu yang penting. Nasihat saya kepada para gadis yang patah hati adalah taruhlah perhatian pada studi fisika teoretis. Sebab, suatu hari mungkin ada bukti tentang alam semesta yang majemuk," katanya.

"Bukanlah sesuatu yang tidak mungkin bahwa di luar alam semesta kita terdapat alam semesta lain yang juga eksis, dan di alam semesta itu, Zayn Malik masih menjadi anggota One Direction," imbuhnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com