KOMPAS.com - Sekelumit catatan penyintas tragedi megaletusan Gunung Krakatau, 130 tahun lalu, ”Mendadak dunia gelap pekat. …Abu menyembur bak air mancur dari rekahan lantai papan. Suamiku berseru dalam keputusasaan, ’Mana pisau? …Saya akan memotong nadi kita semua agar tidak terlalu lama menderita.’”
Saya berlari.... Batu apung menusuk-nusuk seperti jarum. Baru saya sadar, kulit saya bergelantungan, terkelupas di sana-sini... (Vulcan’s Fury: Man Against the Volcano, A Scarth, 1999—dari laman geologi San Diego State University).
Tanggal 26-27 Agustus 1883, dunia mencatat letusan terbesar gunung api yang pernah dirasakan manusia peradaban modern. Letusan pertama terjadi pukul 12.53, Minggu 26 Agustus 1883. Letusan berlanjut dengan energi semakin besar pada Senin 27 Agustus 1883 mulai pukul 05.30 hingga malam hari.
Sebelum letusan yang menewaskan lebih dari 36.000 penduduk, mereka yang ada di sepanjang garis pantai Jawa dan Sumatera tersapu tsunami. Di Pulau Krakatau terdapat tiga gunung, yaitu Perbuatan, Danan, dan Rakata. Akibat letusan, Danan dan Perbuatan serta separuh Rakata runtuh, masuk dalam ruang magma dan membentuk kaldera. Dua pertiga pulau itu hancur.
Anak Krakatau ditandai pada 29 Desember 1927 ketika sejumlah nelayan dari Jawa menyaksikan ada uap dan abu muncul dari kaldera. Krakatau bangun kembali setelah 44 tahun tenang.
Dari Data Dasar Gunung Api Indonesia (Badan Geologi, ESDM, 2011) disebutkan, Gunung Anak Krakatau lahir 30 Januari 1930. Puncak dengan batuan basalt muncul ke permukaan air pertama kali pada 26 Januari 1928.
Anak Krakatau lahir sebagai gunung yang amat aktif. Mulai Juni tahun lalu, gunung ini nyaris tak pernah istirahat dari aktivitas vulkanik. Gempa vulkanik pada Juni 2012 tercatat 1.075 kali, pada Juli kejadian turun menjadi 807 kali, tetapi Agustus meningkat menjadi 2.335 kali gempa. Pada 2 September 2012 terjadi letusan yang menyemburkan lava pijar.
Peregangan
Peneliti geodinamika dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Irwan Meilano, menyebutkan, saat ini terjadi peregangan di tengah Selat Sunda.
”Regangan ini berasal dari subduksi lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia dan pergerakan ke arah kanan dari Sesar Sumatera yang memanjang sampai Selat Sunda,” ujarnya. Pergerakan ini menyebabkan bagian timur Selat Sunda bergerak ke arah tenggara dan bagian baratnya bergerak ke barat laut.
Kompleks Gunung Anak Krakatau terletak di bidang pertemuan antara lempeng tektonik Eurasia dan Indo-Australia di Selat Sunda.
Kecepatan pergerakan kedua lempeng tersebut amat berbeda. Kecepatan gerak lempeng Indo-Australia sekitar 5 sentimeter (cm) per tahun, sedangkan lempeng Eurasia berkecepatan sekitar 7 cm per tahun.
Susilohadi, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Badan Litbang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, melakukan penelitian yang menegaskan terjadinya peregangan di Selat Sunda. ”Di sana terdapat slaver (pecahan lempeng Eurasia) di antara Sesar Sumatera dan zona penunjaman di sebelah barat Sumatera,” katanya.
Akibat dorongan dari Indo-Australia ke arah utara, slaver bergerak terpisah dari kerak benua Eurasia ke arah barat laut, menyebabkan Selat Sunda di selatan Teluk Semangko terban (graben).