Belajar Tanam Yam dari Nigeria

Kompas.com - 29/07/2013, 11:34 WIB

Oleh F RAHARDI*


KOMPAS.com - Sejak zaman Orde Lama sampai sekarang, wacana kemandirian (ketahanan) pangan melalui diversifikasi selalu didengungkan pemerintah. Faktanya, Indonesia makin rawan pangan karena hanya bergantung pada beras, bahkan gandum.

Memang ada juga diversifikasi pangan dari singkong dalam bentuk bakso dan pempek hingga produksi nasional komoditas ini naik. Sejak 2011, Indonesia berada pada peringkat kedua penghasil singkong dunia, di bawah Nigeria yang berada pada peringkat pertama. Indonesia berhasil menggeser Thailand, yang turun ke peringkat ketiga.

Namun, di lain pihak, Indonesia juga tumbuh jadi konsumen gandum (terigu) dalam bentuk mi dan roti. Tahun 2012, impor gandum Indonesia dalam berbagai bentuk mencapai 6,2 juta ton dengan nilai Rp 21 triliun. Indonesia dicatat oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO) sebagai negara pengimpor gandum terbesar nomor lima di dunia.

Di Indonesia, diversifikasi bahan pangan karbohidrat dari beras bukan mengarah ke jagung, sorgum, umbi-umbian, atau sagu dan sukun, melainkan ke gandum yang harus terus diimpor. Beda dengan Nigeria. Negeri ini juga mengimpor gandum, sebanyak 3,9 juta ton, dengan nilai Rp 9,9 triliun. Akan tetapi, mereka tetap memperhatikan bahan pangan lokal. Iklim Nigeria relatif kering dibandingkan Kamerun, Gabon, Kongo, Republik Demokratik Kongo, dan Uganda. Bagian utara negeri ini sudah berbatasan dengan Gurun Sahara. Dengan kondisi iklim seperti ini, Nigeria tidak mungkin menanam padi dengan hasil optimum.

Maka, Nigeria pun menanam jagung. Tahun 2013, hasil jagung negeri ini diprediksi oleh Kementerian Pertanian Amerika Serikat hanya 7,2 juta ton, dan berada pada peringkat ke-13 dunia. Nigeria berada satu level di bawah Indonesia, yang tahun ini diprediksi menghasilkan 7,7 juta ton jagung, dan berada pada peringkat ke-12 dunia. Selain jagung, produk serealia yang masih bisa dibudidayakan di Nigeria hanyalah sorgum. FAO mencatat tahun 2011 Nigeria menghasilkan 6,8 juta ton biji sorgum, dan berada pada peringkat kedua penghasil sorgum dunia setelah India sebagai peringkat pertama dengan hasil tujuh juta ton.

Tanaman semusim

Meski demikian, volume hasil jagung dan sorgum Nigeria masih relatif kecil untuk mengenyangkan 170 juta penduduknya. Maka, pemerintah negeri ini berpaling ke umbi-umbian: singkong, uwi (yam, Dioscorea alata) ubi jalar, keladi, dan pisang olahan (plantain, Musa x paradisiaca). Di dunia internasional, selain keladi, juga ada talas, sénthé (giant taro, Alocasia macrorrhizos), dan pulaka (swamp taro, Cyrtosperma merkusii).

Uwi, talas, dan pisang olahan merupakan bahan pangan penting dunia. Indonesia punya sangat banyak spesies dan varietas uwi, yang kondisinya telantar. Spesies Dioscorea yang dikenal dan dibudidayakan masyarakat Indonesia secara terbatas hanya gembili (Dioscorea aculeata) dan gadung (Dioscorea hispida). Sénthé dan pulaka memang hanya dikonsumsi masyarakat Pasifik Selatan (Samoa, Vanuatu, Tuvalu). Pisang olahan (pisang tanduk, dan pisang kepok) juga bahan pangan penting yang disebut plantain. Komoditas ini sangat populer di Afrika dan Amerika Tengah/Selatan.

Uganda merupakan penghasil plantain nomor satu dunia. Tanaman penghasil karbohidrat ini diperhatikan luar biasa di Afrika, termasuk di Nigeria. Pemerintah Nigeria demikian serius memperhatikan komoditas-komoditas ini demi mengupayakan ketercukupan pangan bagi penduduknya. Upaya ini berhasil baik, hingga Nigeria dicatat oleh FAO sebagai penghasil singkong terbesar dunia. Tahun 2011, hasil singkong negeri ini 52,4 juta ton. Indonesia berada pada ranking kedua dengan hasil hanya 24 juta ton. Nigeria juga produsen uwi dan keladi nomor satu dunia, dengan hasil 37,1 dan 3,2 juta ton, serta ubi jalar nomor tiga dunia, dan plantain nomor lima dunia dengan volume masing-masing 2,7 juta ton.

Di negeri kita uwi, talas, dan keladi telah dilupakan. Dibandingkan talas dan keladi, nasib uwi paling menyedihkan. Terutama uwi sejenis gembili, berukuran besar, yang di Jawa Tengah dan DIY disebut gembolo. Di Jepang, umbi jenis ini disebut nagaimo (mountain yam, Dioscorea oposita), dan dimasak menjadi bubur, sup, serta kuah udon. Nagaimo dibudidayakan dengan serius di Jepang, dan umbi segar maupun gapleknya bisa dengan mudah dijumpai di pasar Tokyo, bahkan di New York. Taiwan juga membudidayakan uwi secara massal, mengolahkan jadi cake dan menyajikannya sebagai dessert di restoran bintang lima.

Selain sumber pangan tanaman semusim, Indonesia juga masih punya komoditas suweg (Amorphophallus paeoniifolius), iles-iles (Amorphophallus muelleri), ganyong (Canna indica), dan garut (Maranta arundinacea). Empat tanaman ini sama sekali tak terperhatikan dengan baik. Suweg justru dikembangkan dengan serius di India. Umbi konjak (Amorphophallus konjac), yang masih sagu genus dengan iles-iles dibudidayakan secara massal di Jepang, RRC, dan Korea untuk bahan konyaku. Di Jateng dan Jatim, masyarakat sudah mulai membudidayakan iles-iles untuk diekspor ke Jepang sebagai substitusi umbi konjak.

Sampai sekarang, masyarakat di sekitar Jakarta masih ada yang membudidayakan kimpul plècèt atau tales dempel (satoimo, Colocasia esculenta var. antiquorum). Sekitar 2.000 SM, kimpul plècèt ini bermigrasi dari Asia Tenggara ke Jepang dan di sana disebut satoimo. Setelah 4.000 tahun beradaptasi dengan iklim temperate, tahun 2005 ada pengusaha mendatangkan satoimo ke Indonesia untuk dibudidayakan sebagai ”komoditas ekspor”. Para pengusaha ini tidak tahu bahwa satoimo berasal dari Indonesia. Dengan sistem plasma, para petani diminta menanam ”talas jepang”, dengan iming-iming akan diberi harga tinggi. Talas yang sudah akrab dengan salju ini tentu tidak mau lagi hidup di iklim tropis. Proyek satoimo ini gagal.

Selain aneka komoditas tanaman semusim tadi, Indonesia masih punya tiga andalan tanaman pangan berupa pohon, yakni aren, sagu, dan sukun. Aren menghasilkan tepung dari empelur batang, gula merah, kolang- kaling, dan ijuk. Aren juga nyaris punah di Jawa karena penebangan untuk diambil tepungnya. Kalau aren nyaris punah, sagu justru belum pernah dieksplorasi, apalagi dibudidayakan. Di Jawa, sagu yang juga dikenal sebagai rumbia lebih banyak dipanen daunnya sebagai bahan atap.

Secara umum dikenal dua jenis sagu, yakni rumbia yang tak berduri dan sagu berduri. Selama ini sagu hanya dikenal sebagai bahan pangan penduduk Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau