Oleh F RAHARDI*
KOMPAS.com - Sejak zaman Orde Lama sampai sekarang, wacana kemandirian (ketahanan) pangan melalui diversifikasi selalu didengungkan pemerintah. Faktanya, Indonesia makin rawan pangan karena hanya bergantung pada beras, bahkan gandum.
Memang ada juga diversifikasi pangan dari singkong dalam bentuk bakso dan pempek hingga produksi nasional komoditas ini naik. Sejak 2011, Indonesia berada pada peringkat kedua penghasil singkong dunia, di bawah Nigeria yang berada pada peringkat pertama. Indonesia berhasil menggeser Thailand, yang turun ke peringkat ketiga.
Namun, di lain pihak, Indonesia juga tumbuh jadi konsumen gandum (terigu) dalam bentuk mi dan roti. Tahun 2012, impor gandum Indonesia dalam berbagai bentuk mencapai 6,2 juta ton dengan nilai Rp 21 triliun. Indonesia dicatat oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO) sebagai negara pengimpor gandum terbesar nomor lima di dunia.
Di Indonesia, diversifikasi bahan pangan karbohidrat dari beras bukan mengarah ke jagung, sorgum, umbi-umbian, atau sagu dan sukun, melainkan ke gandum yang harus terus diimpor. Beda dengan Nigeria. Negeri ini juga mengimpor gandum, sebanyak 3,9 juta ton, dengan nilai Rp 9,9 triliun. Akan tetapi, mereka tetap memperhatikan bahan pangan lokal. Iklim Nigeria relatif kering dibandingkan Kamerun, Gabon, Kongo, Republik Demokratik Kongo, dan Uganda. Bagian utara negeri ini sudah berbatasan dengan Gurun Sahara. Dengan kondisi iklim seperti ini, Nigeria tidak mungkin menanam padi dengan hasil optimum.
Maka, Nigeria pun menanam jagung. Tahun 2013, hasil jagung negeri ini diprediksi oleh Kementerian Pertanian Amerika Serikat hanya 7,2 juta ton, dan berada pada peringkat ke-13 dunia. Nigeria berada satu level di bawah Indonesia, yang tahun ini diprediksi menghasilkan 7,7 juta ton jagung, dan berada pada peringkat ke-12 dunia. Selain jagung, produk serealia yang masih bisa dibudidayakan di Nigeria hanyalah sorgum. FAO mencatat tahun 2011 Nigeria menghasilkan 6,8 juta ton biji sorgum, dan berada pada peringkat kedua penghasil sorgum dunia setelah India sebagai peringkat pertama dengan hasil tujuh juta ton.
Tanaman semusim
Meski demikian, volume hasil jagung dan sorgum Nigeria masih relatif kecil untuk mengenyangkan 170 juta penduduknya. Maka, pemerintah negeri ini berpaling ke umbi-umbian: singkong, uwi (yam, Dioscorea alata) ubi jalar, keladi, dan pisang olahan (plantain, Musa x paradisiaca). Di dunia internasional, selain keladi, juga ada talas, sénthé (giant taro, Alocasia macrorrhizos), dan pulaka (swamp taro, Cyrtosperma merkusii).
Uwi, talas, dan pisang olahan merupakan bahan pangan penting dunia. Indonesia punya sangat banyak spesies dan varietas uwi, yang kondisinya telantar. Spesies Dioscorea yang dikenal dan dibudidayakan masyarakat Indonesia secara terbatas hanya gembili (Dioscorea aculeata) dan gadung (Dioscorea hispida). Sénthé dan pulaka memang hanya dikonsumsi masyarakat Pasifik Selatan (Samoa, Vanuatu, Tuvalu). Pisang olahan (pisang tanduk, dan pisang kepok) juga bahan pangan penting yang disebut plantain. Komoditas ini sangat populer di Afrika dan Amerika Tengah/Selatan.
Uganda merupakan penghasil plantain nomor satu dunia. Tanaman penghasil karbohidrat ini diperhatikan luar biasa di Afrika, termasuk di Nigeria. Pemerintah Nigeria demikian serius memperhatikan komoditas-komoditas ini demi mengupayakan ketercukupan pangan bagi penduduknya. Upaya ini berhasil baik, hingga Nigeria dicatat oleh FAO sebagai penghasil singkong terbesar dunia. Tahun 2011, hasil singkong negeri ini 52,4 juta ton. Indonesia berada pada ranking kedua dengan hasil hanya 24 juta ton. Nigeria juga produsen uwi dan keladi nomor satu dunia, dengan hasil 37,1 dan 3,2 juta ton, serta ubi jalar nomor tiga dunia, dan plantain nomor lima dunia dengan volume masing-masing 2,7 juta ton.
Di negeri kita uwi, talas, dan keladi telah dilupakan. Dibandingkan talas dan keladi, nasib uwi paling menyedihkan. Terutama uwi sejenis gembili, berukuran besar, yang di Jawa Tengah dan DIY disebut gembolo. Di Jepang, umbi jenis ini disebut nagaimo (mountain yam, Dioscorea oposita), dan dimasak menjadi bubur, sup, serta kuah udon. Nagaimo dibudidayakan dengan serius di Jepang, dan umbi segar maupun gapleknya bisa dengan mudah dijumpai di pasar Tokyo, bahkan di New York. Taiwan juga membudidayakan uwi secara massal, mengolahkan jadi cake dan menyajikannya sebagai dessert di restoran bintang lima.
Selain sumber pangan tanaman semusim, Indonesia juga masih punya komoditas suweg (Amorphophallus paeoniifolius), iles-iles (Amorphophallus muelleri), ganyong (Canna indica), dan garut (Maranta arundinacea). Empat tanaman ini sama sekali tak terperhatikan dengan baik. Suweg justru dikembangkan dengan serius di India. Umbi konjak (Amorphophallus konjac), yang masih sagu genus dengan iles-iles dibudidayakan secara massal di Jepang, RRC, dan Korea untuk bahan konyaku. Di Jateng dan Jatim, masyarakat sudah mulai membudidayakan iles-iles untuk diekspor ke Jepang sebagai substitusi umbi konjak.
Sampai sekarang, masyarakat di sekitar Jakarta masih ada yang membudidayakan kimpul plècèt atau tales dempel (satoimo, Colocasia esculenta var. antiquorum). Sekitar 2.000 SM, kimpul plècèt ini bermigrasi dari Asia Tenggara ke Jepang dan di sana disebut satoimo. Setelah 4.000 tahun beradaptasi dengan iklim temperate, tahun 2005 ada pengusaha mendatangkan satoimo ke Indonesia untuk dibudidayakan sebagai ”komoditas ekspor”. Para pengusaha ini tidak tahu bahwa satoimo berasal dari Indonesia. Dengan sistem plasma, para petani diminta menanam ”talas jepang”, dengan iming-iming akan diberi harga tinggi. Talas yang sudah akrab dengan salju ini tentu tidak mau lagi hidup di iklim tropis. Proyek satoimo ini gagal.
Selain aneka komoditas tanaman semusim tadi, Indonesia masih punya tiga andalan tanaman pangan berupa pohon, yakni aren, sagu, dan sukun. Aren menghasilkan tepung dari empelur batang, gula merah, kolang- kaling, dan ijuk. Aren juga nyaris punah di Jawa karena penebangan untuk diambil tepungnya. Kalau aren nyaris punah, sagu justru belum pernah dieksplorasi, apalagi dibudidayakan. Di Jawa, sagu yang juga dikenal sebagai rumbia lebih banyak dipanen daunnya sebagai bahan atap.
Secara umum dikenal dua jenis sagu, yakni rumbia yang tak berduri dan sagu berduri. Selama ini sagu hanya dikenal sebagai bahan pangan penduduk Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Sukun juga merupakan bahan pangan penting bagi masyarakat Pasifik, yang di Indonesia juga masih sebatas dimanfaatkan sebagai camilan. Padahal, buah inilah yang pernah menyelamatkan awak kapal Ferdinand Magellan ketika mereka kehabisan pangan di Pasifik, selama pelayaran mengelilingi dunia: 1519–1522.
Biji bayam RRC
Yang cukup rendah hati mau belajar dari negara lain tampaknya RRC. Tersebutlah, tahun 1970-an, Meksiko tertarik pada cerita tentang biji bayam, yang pernah dibudidayakan orang Maya dan Aztec sebelum kedatangan bangsa Eropa. Oleh orang Aztec, tepung (pati) biji bayam dicampur madu, dibentuk menjadi patung dewa Huitzilopochtli. Dalam sebuah ritual, patung ini dipotong dan dibagi-bagi untuk dimakan. Ritual ini dianggap oleh para imam Katolik mirip dengan pembagian hosti (komuni) dalam ritual misa. Sejak itu penanaman bayam dilarang sama sekali.
Meksiko pun menemukan sisa-sisa komoditas ini di pelosok Pegunungan Andes di Peru. Sejak itu, bayam kembali dibudidayakan sebagai bahan pangan. RRC sangat tertarik pada komoditas ini, lalu pada 1980-an, dengan bantuan USAID, negeri ini mengumpulkan spesies bayam dan varietasnya dari seluruh dunia. Terkumpullah sekitar 1.400 varietas bayam. Dari 1.400 plasma nutfah itu, RRC menemukan beberapa spesies liar yang bisa digunakan untuk menciptakan hibrida baru, hingga produktivitas bayam bisa lebih tinggi. RRC lalu mengirimkan varietas-varietas bayam itu untuk diuji coba di 70 negara di dunia.
RRC melakukan itu semua karena pernah menderita kelaparan. Dengan populasi penduduk terbesar di dunia (1,3 miliar), RRC paling rentan masalah pangan. Maka, mereka pun membuat semua nomor satu. Saat ini RRC penghasil gandum, beras, kentang, dan ubi jalar nomor satu di dunia. Selain itu, RRC juga penghasil jagung nomor dua setelah AS, dan talas nomor dua setelah Nigeria. Ini semua mereka lakukan agar tak pernah terjadi ”bencana nasional”. Sebab, begitu RRC gagal panen, seluruh cadangan pangan dunia tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan RRC. Itulah sebabnya, meskipun semua sudah nomor satu, RRC masih juga gencar mengurus biji bayam.
Dengan melihat fakta-fakta ini, mestinya Indonesia segera ”bertobat”, lalu mulai membudidayakan semua tanaman penghasil pangan. Untuk itu, kita layak belajar dari Nigeria yang berhasil hidup tanpa beras. Memang bisa saja kita berdalih bahwa Nigeria bisa menghasilkan singkong, uwi, dan keladi nomor satu di dunia justru karena tidak bisa menanam padi. Mencari-cari kambing hitam untuk mengelak dari pekerjaan memang sudah sejak lama menjadi keahlian para petinggi di negeri ini.
*Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Trubus