Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yang Cocok Memang Energi Alternatif

Kompas.com - 10/04/2009, 21:17 WIB

MENYANDANG tugas sebagai produsen minyak nasional, Pertamina sadar benar bahwa mereka disorot sebagai salah satu penyebab rusaknya lingkungan. Kerusakan yang diakibatkan kegiatan eksploitasi dan eksplorasi minyak dan gas bumi memang masif sifatnya.

Aktivitas pertambangan tersebut antara lain menghasilkan emisi karbon yang merupakan ”penjahat” bagi isu pemanasan global. Gas rumah kaca yang disetarakan dengan emisi karbon dioksida adalah penyebab pemanasan global. Jika suhu bumi ini terus meningkat, tak lama akan terjadi perubahan iklim.

Kesadaran tersebut, ditambah dengan pemahaman bahwa suatu hari nanti, setidaknya 40-50 tahun lagi, cadangan minyak bumi nasional mulai habis, mendorong Pertamina melalui tanggung jawab sosial terhadap masyarakat (CSR) mulai melakukan usaha bersama masyarakat untuk memproduksi energi alternatif.

Rudi Sastiawan, Manajer CSR Pertamina, Senin (6/4), dalam perbincangan dengan Kompas mengungkapkan, ”Kami disebut sebagai pencemar nomor satu di Indonesia. Oleh karena itu, CSR kami dititikberatkan pada persoalan besar pelestarian alam. Ini bisa berupa kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur untuk pelestarian alam, dan sarana umum.”

Energi dari jarak

Program besar yang dilakukan sekarang adalah mengembangkan pemanfaatan jarak sebagai alternatif energi dan sekaligus manfaat-manfaat lain dari produk turunannya.

Berlokasi di Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Pertamina sekarang menyediakan 3.300 hektar tanah yang ditanami pohon jarak, digarap oleh 2.900 petani, dan ditanami 3,3 juta pohon jarak. Di sana dibangun untuk pabrik dan penyediaan bibit jarak di tanah seluas sekitar 4.000 m².

Biji jarak bisa diperas untuk dijadikan minyak pengganti minyak tanah dan bisa juga dijadikan sabun. ”Sabun jarak ini ramah lingkungan,” tutur Rudi. Bulan Agustus tahun ini direncanakan pabrik di lokasi tersebut selesai dibangun.

Akan tetapi, Rudi menyadari, jika jarak hanya diproduksi sebagai minyak, ”Jelas tidak ekonomis,” katanya, karena minyak dari bahan bakar fosil saat ini masih disubsidi oleh pemerintah sehingga harga minyak jarak tidak bisa bersaing.

Oleh karena itu, saat ini di kawasan itu juga dibangun infrastruktur untuk produksi dan pemanfaatan produk turunan dari jarak. Sampai ke kulitnya pun jarak masih bermanfaat, yaitu untuk biogas. Minyak jarak dicampur dengan etanol atau metanol juga bisa menjadi biodiesel. ”Ini baru bisa kalau minyak diesel tidak disubsidi,” ujarnya menambahkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com