Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebiri Kimia, Hukuman bagi Pedofilia yang Tuai Kontroversi

Kompas.com - 26/08/2019, 18:03 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Hukuman kebiri kimia yang dijatuhkan pada Muh. Aris (20), pemerkosa 9 anak dari Mojokerto, Jawa Timur mendapat perhatian dan kontroversi dari sejumlah pihak.

Kontroversi itu muncul karena kebiri kimia dianggap tidak sesuai dengan sumpah dokter, tidak efektif, dan juga melanggar HAM.

Bertentangan dengan sumpah dokter

Dari sisi medis, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Budi Wiweko mengaku tidak terlalu paham terkait kebiri kimia.

"Terus terang saja, pekerjaan seperti itu (kebiri kimia) bukanlah pekerjaan yang boleh dilakukan seorang dokter atau tenaga kesehatan lainnya," ujar dokter Budi kepada Kompas.com melalui sambungan telepon Senin (26/8/2019).

"Ini karena kita punya sumpah dokter yang bunyinya menghormati makhluk hidup insani sejak pembuahan," imbuh dokter Budi.

Baca juga: Pemerkosa 9 Anak Divonis Kebiri Kimia, Seberapa Efektif Hukuman Ini?

Dia menjelaskan, sumpah dokter ini menandakan bahwa ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan digunakan untuk kemaslahatan atau kebaikan umat manusia dan untuk kesehatan bangsa.

Dia menegaskan, baik ilmu kesehatan dan ilmu kedokteran, melarang keras untuk menyakiti apalagi mengebiri manusia karena bertentangan dengan sumpah dokter.

"Sebagai insan profesional dan sebagai guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saya pribadi menyatakan hal tersebut (kebiri kimia) tidak bisa dilakukan oleh seorang dokter ataupun tenaga kesehatan apapun," tegas dokter Budi.

"Karena jelas ada di sumpah dokter Indonesia untuk menghormati makhluk hidup insani sejak pembuahan. Bahwa ilmu kedokteran tidak boleh digunakan untuk menyakiti atau bertentangan dengan tujuan kedokteran dan kesehatan," imbuh dia.

Tidak efektif

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih.

Menurut Daeng, kebiri kimiawi sebaiknya dilakukan dalam perspektif rehabilitasi agar lebih efektif.

"Jika dilakukan dalam perspektif rehabilitasi justru si predator seksual akan bisa sembuh karena output dari rehabilitasi memang untuk kesembuhan. Kalau perspektifnya hukuman kan tidak ada output kesembuhan," ujar Daeng, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VIII DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/7/2016).

"Dan jika kebiri kimiawi dilakukan dalam perspektif rehabilitasi, kami dari IDI dengan sukarela jadi eksekutornya," lanjut Daeng.

Daeng mengatakan, menjadikan kebiri sebagai hukuman berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku.

Ia berpendapat, seorang predator belum tentu melakukan kekerasan seksual berdasarkan dorongan libido atau hormonal.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau