Oleh Wasisto Raharjo Jati
KEMISKINAN masih menjadi masalah besar di Indonesia meskipun pemerintah mampu memangkas angka kemiskinan hingga satu digit untuk pertama kalinya pada 2018.
Sejak September 2018, angka kemiskinan nasional mencapai 9,66% dari total jumlah penduduk Indonesia atau setidaknya ada 25 juta orang masih di bawah garis kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan capaian itu merupakan yang terendah dalam sejarah pengentasan kemiskinan di Indonesia. Pada September 2017, angka kemiskinan masih mencapai 10,12% atau sekitar 26,58 juta orang masih berada di bawah garis kemiskinan.
Melalui program pengentasan kemiskinan, pemerintah telah lama mendistribusikan bantuan tunai dan non-tunai. Bantuan non-tunai ini terdiri dari pembagian Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk masyarakat miskin di desa dan kota. Meskipun demikian kemiskinan masih menjadi tantangan tersendiri di beberapa provinsi.
Clifford Geertz, antropolog dari Amerika Serikat, menjelaskan bahwa kemiskinan di Indonesia terkait dengan kecenderungan sosial dan kultural penduduk kelas bawah untuk saling berbagi. Dia menemukan masyarakat miskin di Jawa cenderung membagi aset mereka dengan keluarga dan tetangga dekat meski jumlahnya terbatas. Kebiasaan inilah yang membuat kondisi kemiskinan makin memburuk.
Sejalan dengan temuan Geertz, hasil riset kami menunjukkan bahwa budaya masih berperan penting dalam masalah kemiskinan di Indonesia khususnya Jawa. Kami menemukan bahwa sikap pasrah yang dimiliki sebagian masyarakat Jawa merupakan tantangan terbesar dalam usaha pengentasan kemiskinan.
Yogyakarta merupakan provinsi termiskin di Jawa dengan persentase kemiskinan sebesar 11,81%. Angka ini lebih dari angka nasional.
Banten adalah kawasan dengan persentase kemiskinan terendah ke-5 di Indonesia, yaitu sekitar 5,26%. Tapi banyak masyarakat yang tidak bisa mencari pekerjaan setelah musim panen di sana. Tahun lalu, angka pengangguran setelah masa panen mencapai 15,4%, lebih tinggi pada waktu musim panen yang hanya mencapai 13,7%.
Rendahnya tingkat pendidikan menghalangi masyarakat Banten untuk mendapatkan pekerjaan di luar sektor pertanian.
Saya bersama anggota tim riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terjun lapangan di Kota Serang dan Kabupaten Pandeglang, Banten dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Gunung Kidul di Yogyakarta pada 2015 sampai 2017 untuk mengindetifikasi faktor non-ekonomi yang menyebabkan kemiskinan.
Kami memilih dua provinsi tersebut karena tingkat persentase kemiskinan yang tinggi di kedua daerah tersebut dan ikatan kultural yang kuat di antara masyarakat.
Kami menyebarkan daftar pertanyaan pada 1.198 responden dan mewawancarai mendalam 20 keluarga.
Riset kami menunjukkan bahwa perilaku psikologi masyarakat telah menghalangi mereka untuk keluar dari jerat kemiskinan. Mayoritas responden berasumsi bahwa kemiskinan yang mereka terima adalah takdir Tuhan yang tidak bisa ditolak. Perilaku semacam ini lazim disebut sebagai “nrimo” dalam budaya Jawa.
Kami juga menemukan fakta bahwa perilaku tersebut secara psikis mengarah pada bentuk penolakan diri. Penolakan diri di sini dapat diartikan sebagai bentuk penerimaan nasib karena kemiskinan ini merupakan takdir Tuhan. Meski secara ekonomi mereka dinyatakan miskin, mereka yakin bahwa secara sosial mereka tidaklah miskin karena mereka percaya mereka mendapatkan dukungan ekonomi dan sosial dari keluarga dan komunitasnya.