KOMPAS.com- Sebelum viralnya akar Bajakah untuk obat kanker payudara, masih ingatkah Anda dengan penemuan jaket dari Warsito yang pada tahun 2016 lalu yang dikatakan sebagai alternatif terapi kanker? Pada masa itu, masyarakat juga antusias agar jaket karya Warsito bisa segera diproduksi secara masal dan digunakan masyarakat penderita kanker.
Ternyata, proses menjadikan suatu penemuan atau penelitian sebagai barang komersial tidaklah sesederhana yang dipikirkan masyarakat, termasuk riset kesehatan maupun alat-alat bermanfaat lainnya.
Wakil Direktur Indonesia Medical Education Research Institute (IMERI), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), Prof DR Dr Budi Wiweko SpOG (K) MPH, memaparkan bahwa dalam mendorong suatu ide penelitian atau penelitian awal menjadi sebuah inovasi, dibutuhkan keterlibatan banyak aspek.
Di antara aspek-aspek tersebut adalah aspek akademisi, penelitian dan industri.
Baca juga: Perlu TTO agar Karya Peneliti Indonesia Bisa Segera Dirasakan oleh Masyarakat
Ketiga aspek ini umumnya berkaitan karena penelitian kebanyakan dilakukan oleh para akademisi. Lalu, jika penelitian awal sudah berjalan dan ingin diproduksi secara masal, maka dibutuhkan fase penelitian atau klinis panjang (bisa tahunan hingga puluhan tahun) yang melibatkan perusahaan atau industri dengan alat uji coba dan dananya.
Pasalnya, kekurangan dana biasanya menjadikan penelitian ditunda atau bahkan gagal. Donatur industri maupun pribadi adalah alternatif terbaik untuk melanjutkan target penelitian. Namun, memang tidak semudah itu mencari donatur yang sesuai dengan penelitian yang ada.
Sayangnya, seperti diakui oleh profesor yang akrab dipanggil Iko ini, para peneliti sering kali kesulitan berkomunikasi dengan pelaku industri.
"Karena orang industri itu akan tanya mengenai murah dan mudah enggak bahannya, terus laku enggak di pasarnya nanti, banyak yang butuh enggak," jelas Iko.
“Lebih lagi kalau berkaitan lagi dengan birokrasi. Misalnya birokrasi universitas yang harus mengurus ini dan itu dulu. Biasanya orang industri mikir-mikir dan banyak yang pada akhirnya malah mundur, karena risiko besar yang sering tidak seimbang dengan income (pendapatan) mereka nantinya. Makanya susahnya disitu,” imbuh Iko.
Baca juga: Untuk Jadi Obat Kanker, Akar Bajakah Harus Melewati Fase-fase Ini
Senada dengan Iko; Ketua Business Innovation Center, Ir Kristanto Santoso Mscm IPM, berpendapat bahwa tantangan utama dalam berinovasi di bidang teknologi dan kesehatan saat ini adalah kontinuitas pengembangan karya dan inovasi.
“Banyak orang yang punya ide penelitian, yang bahkan bisa dibilang kreatif dan berguna bagi banyak orang, tapi sulit mengembangkannya karena kurangnya jaringan yang membantu,” kata Kris.
Selain itu, unit yang bertugas sebagai komunikator atau endoser manajemen para peneliti dirasa masih kurang sehingga inovasi yang ada hanya menjadi realitas ide yang tidak dapat dikonsumsi oleh masyarakat.
Tidak cukup di situ, biasanya dalam penelitian, orang akan sigap untuk melakukan hak paten. Nah, untuk mendapatkan hak paten ini juga menjadi kendala besar.
“Persoalan hak paten itu sebenarnya cepat kalau tidak ada yang sama atau kelengkapan syaratnya pas. Tetapi, seringnya persoalan hak paten ini sangat lamban, bahkan memakan waktu sampai 11 tahun lebih,” kata Kris.
Berkaca dari tantangan dan hambatan di atas, Iko menegaskan bahwa pengembangan pusat riset di Indonesia harus menjadi target utama dalam menghasilkan penelitian yang bermanfaat sesuai kebutuhan masyarakat.
“Saya berharap, universitas di Indonesia didorong untuk berperan sebagai Research and Development-nya dunia industri, sehingga akan mendorong percepatan komersialisasi produk riset,” katanya.
Baca juga: Bajakah untuk Obat Kanker, Apa yang Harus Dilakukan Usai Kehebohannya?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.