Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Viral Bajakah Obati Kanker, WALHI Ingatkan Ancaman Eksplorasi Hutan

Kompas.com - 14/08/2019, 17:00 WIB
Angga Setiawan,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Nama tanaman bajakah mendadak mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Tanaman ini dijadikan sebagai obyek penelitian dan digadang dapat digunakan sebagai obat kanker.

Namun, di balik gegap gempitanya sambutan masyarakat terhadap khasiat tersebut, ada kekhawatiran terhadap eksplorasi tanaman bajakah dan perlindungan hutan di Kalimantan.

Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah, Dimas N Hartono saat dihubungi Kompas.com, Senin (13/8/2019). Melalui pesan singkat, Dimas mengatakan, perlu adanya peran pemerintah secara aktif dalam perlindungan terhadap kawasan tumbuhan obat.

Pendapat itu disebabkan tumbuhan obat di Indonesia merupakan keanekaragaman hayati yang harus terjaga dengan baik terutama dari sisi budaya masyarakat lokal serta habitatnya.

Baca juga: Heboh Bajakah Obati Kanker, Sudahkah Pemberitaan Kita Proporsional?

“Pemerintah harus aktif dalam perlindungan terhadap kawasan-kawasan yang terdapat tumbuhan pengobatan alternatif,” ungkap Dimas.

“Karena tanaman obat yang ada di Indonesia khususnya Kalimantan Tengah (Kalteng) merupakan keragaman hayati yang harus terjaga baik dari sisi budaya masyarakatnya dan kawasan yang harus terjaga,” sambungnya.

Dimas juga menilai ada ancaman dari eksploitasi dari perizinan pembukaan lahan sawit, tambang, serta industri kehutanan yang ada di Kalimantan. Apalagi, Indonesia selama ini dikenal sebagai negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia.

“Ancaman eksploitasi pasti ada, ancaman terbesarnya adalah eksploitasi dari perizinan yang timbul di sektor sawit, tambang, dan industri kehutanan,” kata Dimas.

“Karena dengan adanya perizinan tersebut maka tumbuhan obat yang ada di Kalteng akan musnah,” imbuhnya.

WALHI saat ini berkonsentrasi dalam upaya penanganan alih fungsi lahan dari perizinan industri untuk membuka lahan baru agar tidak berdampak pada kerusakan lingkungan dan hilangnya fungsi lahan bagi masyarakat.

Selain dari faktor perizinan pembukaan lahan, ada kekhawatiran adanya eksplorasi pihak korporasi dalam memanfaatkan tanaman obat menjdi komoditas komersil.

Dalam kesempatan terpisah, Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi WALHI menyebut bahwa ada bahaya apabila terjadi eksplorasi skala besar oleh pihak korporasi.

“Berbahaya kalau dijadikan komoditi komersial skala besar oleh kelompok korporasi,” ungkap Zenzi.

Beliau menyarankan agar dicanangkan program biodiversity dalam rangka perlindungan alam yang diawasi oleh masyarakat setempat.

“Perlindungan alam dan biodiversity mesti diikuti dengan inventarisasi praktik kearifan (pengobatan, pangan, tenure) masyarakat hukum adat yang terikat dengannya,” ujar Zenzi.

Baca juga: Bajakah untuk Obat Kanker, Apa yang Harus Dilakukan Usai Kehebohannya?

“Indonesia punya data aset keberagaman kultur, yang mana praktik dan pengetahuan pengobatan sebenarnya sangat banyak di Indonesia,” sambungnya.

Zenzi menilai ada potensi penggunaan tumbuhan obat di Indonesia dalam praktik pengobatan tradisional di daerah terpencil yang sulit terjangkau oleh peralatan medis daripada penggunaan tanaman sebagai produk komersial.

Penerapan tumbuhan obat sebagai pengobatan tradisional diharapkan dapat menjadi modal pembangunan pengobatan medis di setiap daerah.

Terakhir, dia menyampaikan kepada pemerintah agar membuat pengakuan kawasan adat untuk masyarakat wilayah tersebut. Tujuannya agar ada perlindungan dan pemanfaatan tanaman menyesuaikan aturan masyarakat lokal yang lebih paham wilayah tersebut.

“Pemerintah mesti mempercepat pengakuan dan perlindungan wilayah adat untuk masyarakat adat di wilayah tersebut, agar perlindungan dan pemenfaatan tumbuhannya mengikuti aturan hukum adat setempat,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com